Logo

Ekonomi Politik Mudik Lebaran

MUDIK merupakan fenomena sosial yang menggabungkan tiga unsur penting: migrasi sosial, budaya, dan ekonomi. Ketiganya dibungkus oleh aspek psikososial ritual keagamaan. Yakni perasaan menang setelah menjalani puasa Ramadan sebulan penuh. Ujungnya, mudik pun menjadi ritual sosial tahunan yang menggenapi setiap kegiatan keagamaan Ramadan.

Pertautan erat multiaspek di atas membuat mudik Lebaran seakan ritual wajib bagi sejumlah kalangan. Kebijakan pembatasan mobilitas yang berujung peniadaan mudik Lebaran melalui SE Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 13 Tahun 2021 pun harus berhadapan secara keras dengan sikap mereka yang mewajibkan diri untuk mudik itu.

Pertanyaannya, mengapa kehendak untuk mudik Lebaran tetap saja besar di sejumlah kalangan masyarakat meskipun sudah ada kebijakan pembatasan mobilitas yang berujung peniadaan mudik? Mengapa masih tidak surut kehendak untuk mudik meskipun terdapat operasi pemeriksaan di lapangan hingga ancaman pandemi Covid-19 yang masih mengintai mereka?

Banyak kepentingan berlipat di balik mudik Lebaran. Tidak hanya melepas rindu pada keluarga besar, tapi juga ada unsur kuasa sosial dan bahkan ekonomi di balik ritual mudik Lebaran itu. Bahkan, berkelindannya unsur psikologis dan ekonomi politik ini mendorong sejumlah kalangan untuk mengabaikan aturan yang dikeluarkan pemerintah dalam mengamankan keselamatan jiwa mereka.

Kuatnya kelindan dimensi kepentingan di atas diperparah oleh bertemunya kepentingan ganda antara pemudik dan keluarga yang akan dikunjungi. Harus diakui, yang memiliki kepentingan dengan ritual mudik itu bukan hanya mereka yang berada di perantauan untuk kembali ke kampung asal. Tapi juga keluarga yang berada di daerah asal yang juga kerap menunggu mudiknya anggota keluarga besarnya dari perantauan.

Meminjam kajian disertasi Emily Zoe Hertzman (2017), praktik mudik yang juga bisa dikategorikan sebagai ritual pulang kampung (returning home) mengandung dimensi jamak. Bukan hanya mobilitas sosial (social mobility), tapi juga keniscayaan ekonomi (economic necessity). Praktik mudik tidak hanya menunjuk pada masih kuatnya dinamika dan sekaligus status diaspora komunitas lintas batas geografis, tapi juga merujuk pada kebutuhan untuk mempertunjukkan apa yang oleh Hertzman disebut dengan istilah masa depan kesejahteraan riil dan bayangan (real and imagined futures of prosperity). Semuanya dalam satu tarikan napas untuk mempersembahkan kuasa sosial yang diraih.

Oleh karena itu, kebijakan pembatasan mobilitas sosial yang berujung peniadaan mudik Lebaran segera dipahami sejumlah kalangan yang berkehendak kuat untuk melakukannya sebagai kebijakan yang merugikan. Mereka memahami begitu walaupun mereka sendiri (mungkin) merasakan situasi yang sangat mengancam keselamatan jiwa di tengah pandemi Covid-19.

Kuatnya pertautan sosial ekonomi antara pemudik dan keluarga di kampung halaman menjadi latar belakang dari masih kuatnya kehendak sejumlah kalangan untuk tetap melakukan ritual mudik Lebaran. Waktu pelaksanaannya memang sangat singkat, bisa dalam hitungan hari atau bahkan maksimal dua minggu. Tapi, kepentingan ekonomi di balik ritual sosial ini sangat besar.

Perputaran ekonomi selama mudik Lebaran memang besar sekali. Tercatat, seperti yang menjadi temuan investigasi Dompet Dhuafa (lihat Purwakananta Dkk, Ekonomi Mudik: 2011), dalam sekali ritual mudik pada 2010, perputaran uang mencapai hingga Rp 84,9 triliun. Perinciannya, 56 persen dari total dana yang berputar tersebut bergerak dalam pembelanjaan dana pada praktik yang mengiringi tradisi mudik. Mulai pemenuhan biaya akomodasi hingga tamasya. Termasuk juga untuk pengeluaran ritual sedekah dan zakat oleh pemudik di kampung asalnya. Adapun 44 persen sisanya dilaporkan berkaitan dengan pembelanjaan untuk kebutuhan transportasi, konsumsi selama perjalanan, hingga pengadaan buah tangan untuk keluarga besar di kampung asalnya.

Kuatnya kepentingan pemudik dan keluarga yang akan dikunjungi di kampung asal juga berbalut ekonomi yang besar. Dalam catatan Dompet Dhuafa, lebih dari separo pemudik mengeluarkan dana untuk kepentingan diri sendiri di kampung asalnya. Untuk pembayaran zakat, misalnya, jumlah akumulatif besaran zakat pemudik di kampung halamannya tidak kurang dari Rp 7,35 triliun. Bahkan, dalam temuan Purwakananta dkk di atas, terdapat pula transaksi ekonomi antara pemudik dan warga di kampung halamannya melalui pembelian hasil kerajinan UKM sebagai oleh-oleh balik ke kota.

Artinya, terdapat repatriasi dana dalam jumlah yang sangat besar dari kota ke desa di balik ritual mudik. Itu karena mudik Lebaran juga menjadi pola konsumsi masyarakat kota di kampung asal. Belum lagi diperparah oleh kepentingan psikososial berentet antara pemudik dan keluarga besar di kampung.

Kebijakan peniadaan mudik Lebaran oleh pemerintah di lapangan harus berhadapan langsung dengan kuatnya kelindan jamak psikososial dan ekonomi politik warga masyarakat. Desakan psikososial yang bertemu dengan ritual keagamaan menyediakan ruang yang lebih besar bagi tumbuhnya kehendak yang kuat di sejumlah kalangan untuk tetap melaksanakan praktik mudik Lebaran.

Majunya teknologi komunikasi dan informasi yang dapat memfasilitasi terjadinya silaturahmi virtual dan pertautan digital dari interaksi sosial belum mampu menjadi pendorong terjadinya perubahan perilaku sejumlah warga dalam berinteraksi sosial di pengujung Ramadan. Mereka bukan tidak menggunakan peranti digital untuk silaturahmi. Mereka menggunakan itu, tapi tetap merasa harus mudik ke kampung asal.

Jadi, kepentingan ekonomi politik dan psikososial telah memberikan tantangan berat pada kebijakan pembatasan mobilitas sosial dalam bentuk peniadaan mudik Lebaran. Itu yang kemudian membuat situasi sulit bagi upaya untuk menjaga keselamatan jiwa warga masyarakat di tengah pandemi Covid-19. (*)


*) Akh. Muzakki, Guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya, sekretaris umum MUI Jawa Timur