Logo

Larangan Ekspor Batu Bara dan Visi Energi

PEMERINTAH lewat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tiba-tiba melarang ekspor batu bara untuk sementara sejak 1 hingga 31 Januari 2022. Kementerian menyebut kebijakan ini terpaksa dilakukan untuk menjamin stok pasokan batu bara guna kebutuhan pembangkit listrik dalam negeri. Sasaran kebijakan ini adalah pengusaha pemegang izin usaha pertambangan (IUP) atau IUP khusus (IUPK) pada tahap operasi produksi dan kelanjutan operasi serta PKP2B (perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara).

Menurut pemerintah, pasokan batu bara yang berkurang untuk PLN (persero) bisa berdampak kepada sekitar 10 juta pelanggan, baik masyarakat umum maupun industri. Jadi, larangan ekspor batu bara bisa mencegah pemadaman terhadap 20 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berdaya 10.850 megawatt sehingga tidak sampai mengganggu kestabilan perekonomian nasional. Pemerintah mengisyaratkan apabila pasokan batu bara untuk PLN sudah terpenuhi (normal), pengusaha bisa kembali melakukan ekspor.

Sebelumnya, pemerintah notabene telah mengingatkan eksportir batu bara untuk memenuhi komitmen pasokan batu bara ke PLN. Namun, realisasi komitmen itu masih di bawah kewajiban persentase penjualan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri. Akibatnya, kebutuhan batu bara bagi PLN di akhir tahun 2021 terakumulasi defisit, yaitu seharusnya per 1 Januari 2022 tersedia 5,1 juta metrik ton ternyata baru terealisasi 35 ribu metrik ton (kurang dari 1 persen). Ini jelas tidak dapat memenuhi kebutuhan tiap PLTU nasional.

Karena itu, pemerintah mewajibkan pemenuhan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri minimal 25 persen dari rencana produksi yang disetujui dengan harga jual USD 70 per metrik ton. Berdasar pasal 158 ayat (3) PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, pemegang IUP atau IUPK tahap kegiatan operasi produksi dapat mengekspor batu bara yang diproduksi setelah kebutuhan batu bara dalam negeri terpenuhi.

Selain pasokan di pasar global berkurang, dampak lain larangan ekspor batu bara adalah kerugian di pihak eksportir dan berkurangnya devisa negara yang menurut Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) sekitar USD 3 miliar per bulan. Citra Indonesia juga buruk di mata investor karena pemerintah dianggap kurang mampu mengantisipasi pasokan batu bara di dalam negeri. Salah satu keluhan eksportir adalah produk yang seharusnya bisa dijual di pasar global (USD 150–170 per metrik ton) harus dijual seharga USD 70 per metrik ton di dalam negeri.

Larangan ekspor membuat sebagian pemasok ke pasar global kehilangan manisnya harga ekspor batu bara. Kondisi ini bukan disrupsi akibat teknologi energi, tetapi keadaan memaksa akibat konsumen energi masih bergantung pada energi yang tak terbarukan.

Selain Indonesia, konsumen batu bara selama ini adalah Tiongkok, India, Filipina, Jepang, dan Malaysia. Juga Korea Selatan, Vietnam, dan Taiwan. Karena itu, larangan ekspor batu bara memang terkesan mendadak, seolah kebutuhan PLN tidak bisa diantisipasi jauh sebelumnya.

Pemerintah seolah lemah dalam mengendalikan para eksportir untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Namun, alasan force majeure dari pemerintah juga bisa dimaknai sebagai isyarat bakal beralihnya penggunaan energi fosil ke energi terbarukan. Presiden Jokowi telah meminta PLN dan Pertamina (importir minyak mentah) untuk beralih perlahan ke energi terbarukan. Itu berarti para eksportir (batu bara) sudah harus siap menghadapi kebijakan semua negara yang bervisi sama untuk mengurangi penggunaan energi fosil.

Sebab, pembakaran bahan energi fosil telah terbukti melepas gas yang mencemari udara seperti karbon dioksida, nitrogen oksida, dan sulfur dioksida. Pencemaran ini pula yang menimbulkan hujan asam dan pemanasan global.

Selain itu, tanah bekas tambang batu bara bakal sulit diproduktifkan untuk lahan pertanian. Karena itu, larangan ekspor batu bara RI merupakan batu uji bagi eksportir dalam menghadapi disrupsi jika suatu saat semua negara akhirnya beralih ke energi terbarukan (matahari, air, angin, dan bioenergi).

Sebenarnya, setelah negara-negara maju menemukan teknologi energi terbarukan, komoditas batu bara di dalam supply chain global telah banyak berkurang. Artinya, visi energi global yang ramah lingkungan sudah dimulai secara perlahan di negara-negara maju. Misalnya, Jerman telah berhasil menjadi konsumen energi terbarukan terbesar di dunia. Menurut informasi International Renewable Energy Agency (IRENA), Jerman (2020) telah menggunakan 56 persen energi terbarukan berupa bioenergi, geotermal, angin, tenaga surya, dan hidro.

Disusul Inggris Raya dengan konsumsi energi terbarukan 43 persen (2020) berupa bioenergi, angin darat, angin lepas pantai, tenaga surya, dan hidro. Demikian juga Kosta Rika telah memakai 72 persen (energi geotermal, angin, biomassa, dan matahari) dan Denmark 50 persen (energi matahari, angin darat, dan laut). Teknologi energi ramah lingkungan telah mengubah kapasitas batu bara di pasar global secara drastis. Inovasi di sektor energi terbarukan telah menggeser tatanan supply chain global ke peradaban yang lebih maju.

Perubahan, iklim yang ekstrem telah mendorong tiap negara mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Supply chain batu bara di masa mendatang lambat laun bakal mengalami transisi menjadi supply chain yang didominasi produk teknologi ramah lingkungan. Para eksportir batu bara suatu saat bakal menghadapi ujian berat jika tidak memiliki prediksi dan strategi yang tepat dalam menghadapi disrupsi akibat teknologi energi terbarukan. Negara-negara maju bakal transfer plus investasi teknologi energi ke negara-negara pengguna energi fosil. Semoga. (*)


*) AUGUSTINUS SIMANJUNTAK, Dosen Program Manajemen Bisnis FBE Universitas Kristen Petra Surabaya