Logo

Fenomena Kotak Kosong di Pilkada Serentak 2024

Ketua relawan Kotak Kosong Yoyo Sutarya (kanan) memperlihatkan kotak kosong dan berkas di KPU Ciamis, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Rabu (4/9/2024).

DARI 500 pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan tahun ini, 41 daerah akan mengadakan pemilihan dengan pasangan calon tunggal, atau melawan kotak kosong. Dalam metode ini bukan berarti kotak suara yang kosong dihadirkan saat pemungutan suara, namun di dalam surat suara, pemilih dapat memilih opsi ini bila tidak ingin memilih satu-satunya pasangan calon yang maju. 

Fenomena yang pertama kali hadir pada pilkada tahun 2015 ini nyatanya terus meningkat. Jika saat itu hanya ada tiga daerah yang berkompetisi dengan kotak kosong, jumlahnya tercatat meningkat menjadi sembilan kotak kosong pada 2017, 16 kotak kosong pada 2018, lalu 25 kotak kosong pada 2020.

Kotak kosong memang tetaplah sebuah pilihan politik, namun bukan pilihan yang ideal, karena saat ini koalisi gemuk partai juga terjadi di daerah. Fenomena kotak kosong juga dapat membuat perhelatan pilkada, hanya akan menjadi semacam “formalitas” bagi masyarakat.

Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 60 tahun 2024, sebenarnya telah membuka peluang bagi partai-partai politik agar lebih leluasa mengusung calonnya sendiri, tanpa harus berkoalisi. Namun sayang, diturunkannya ambang batas pencalonan kepala daerah, di tengah tren koalisi gemuk ini tidak dimanfaatkan partai-partai politik. 

Fenomena kotak kosong tentu membawa pemilih pada situasi yang tidak ideal. Dengan hanya satu pasangan calon, masyarakat tidak dapat membandingkan ide atau gagasan, sehingga membuat iklim demokrasi turut menjadi tidak sehat, bahkan berpotensi membuat pemerintahan berjalan tanpa oposisi.

Memilih kotak kosong berbeda dengan golput. Ketika masyarakat memilih kotak kosong, maka surat suaranya akan tetap dihitung sebagai suara yang sah, sehingga tetap mempengaruhi hasil pemilu.

Meski memilih kotak kosong tetap merupakan hak para pemilih yang merasa tidak cocok dengan paslon yang ada, hanya saja ruang demokrasi yang sehat semestinya memungkinkan lebih banyak pasangan calon, sehingga adu program yang dihadirkan para calon, benar-benar dapat diseleksi pemilik hak suara untuk kebaikan bersama.