Logo

Dinasti Politik Pilihan Rasional Politikus, Juga Untungkan Parpol Pengusung Sekaligus

Pasangan Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Solo dari Partai PDI Perjuangan, Gibran Rakabuming Raka (kanan) dan Teguh Prakosa (kiri) menunjukan poster nomor urut satu usai acara Rapat Pleno KPU Pengundian Nomor Urut Peserta Pemilihan Wali Kota dan Wakil

INFOSULAWESI.com  --  Sebanyak 158 kandidat calon kepala daerah yang bertaruh nasib di Pilkada serentak 2020 tercatat berlatar belakang dinasti politik. Salah satu yang menyolok di antaranya adalah putra dan menantu Presiden Joko Widodo, yakni Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution. 

Melihat maraknya politik keluarga itu kemudian muncul perdebatan di kalangan masyarakat soal etis dan tidak etis, seseorang yang memiliki kekuasaan kemudian mengupayakan melanjutkan kuasanya kepada anggota keluarga yang dicalonkan. 

Namun di luar perdebatan etis dan tidak etis, Yoes C Kenawas kandidat doktor ilmu politik dari Universitas Northwestern, Amerika Serikat memiliki sisi pandang lain.

Menurutnya politik dinasti dengan harapan melanjutkan kekuasaan merupakan hal yang paling rasional yang dapat diambil seorang politikus.

Pasalnya, dinasti politik seolah menjadi jalan pintas bagi kandidat untuk menggapai kekuasaan yang mereka harapkan.

"Dan ini adalah sebuah pilihan rasional buat politisi. Saya bilang rasional bukan etikal karena apa? Karena politisi pada dasarnya ingin berkuasa sepanjang mungkin selama mungkin," kata Yoes dalam webinar bertajuk Dinasti Politik Jokowi dan Pandemi Covid-19 yang diselenggarakan Tirto.id, Rabu (16/12/2020).

Yoes berujar, dinasti politik dan partai politik kemudian ibarat botol yang bertemu dengan tutupnya. Dua pihak tersebut seakan klop dan saling melengkapi. Karena itu, menurut Yoes, dinasti politik dan parpol menciptakan simbioses mutualisme alias saling menguntungkan.

"Dari sisi dinasti politik mereka juga ingin mendapatkan dukungan dari partai untuk mencalonkan diri dalam pilkada. Karena apa? Karena jalur ini dianggap yang paling kurang berisiko dibanding jalur independen. Masuk melalui jalur independen itu dilihat lebih berat dan kemudian lebih punya risiko untuk gagal pada saat penyaringan atau pada saat verifikasi," tutur Yoes.

Sementara itu, dikatakan Yoes simbiosis mutualisme di pihak parpol ialah karena kebutuhan parpol akan dinasti politik semisal untuk pembiayaan operasional partai.

"Terus pada saat nanti pileg akan ada masa di mana mereka mengandalkan dinasti poltiik. Karena sudah terbukti mereka adalah pengumpul suara yang gede gitu. Pengumpul suara yang efektif untuk partai politik," kata Yoes.

Atas kebutuhan dan kepentingan dua belah pihak tersebut, maka menjadi wajar apabila kemudian hubungan simbiosis antara dinasti politik dan parpol ibarat botol bertemu tutup.

"Dalam situasi simbiosis mutalisme ini maka tidak heran apabila kemudian seperti ada botol ketemu tutup bahwa mereka partai dan politik dinasti saling kerja sama dan saling mendukung satu sama lain. Sehingga tidak heran 158 kandidat di 2020 dibandingkan 52 kandidat di 2015," ujar Yoes.

Meningkat 300 Persen

Kandidat calon kepala daerah yang berlatar belakang dinasti politik kian mengalami peningkatan pada Pilkada tahun ini. Berdasarkan data peningkatan itu mencapai tiga kali lipat.

Yoes C Kenawas kandidat doktor ilmu politik dari Universitas Northwestern, Amerika Serikat mengatakan pada Pilkada 2015 diketahui ada 53 kandidat dinasti politik. Sementara pada 2020, jumlahnya kian merangkak naik menjadi 158 kandidat.

Peningkatan yang tajam itu pula, kata Yoes berdampak terhadap demokrasi Indonesia yang kian mengkhawatirkan.

"Peningkatannya tuh lebih sedikit dari 300 persen, tiga kali lipat lah penambahannya dari tahun 2015. Jadi di tahun 2020 ini dalam satu putaran kekuasaan itu ada 158 kandidat dinasti yang berpartisipasi dalam pemilu," kata Yoes dalam webinar bertajuk Dinasti Politik Jokowi dan Pandemi Covid-19 yang diselenggarakan Tirto.id, Rabu (16/12/2020).

Yoes menilai peningkatan kandidat dinasti politik itu juga menunjukan semakin menyempitnya peluang bagi kalangan lain untuk berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah. Ia berujar, kini hanya segelintir kalangan saja yang memiliki aksea untuk mencapai kekuasaan.

"Semakin meyempit belum tertutup tapi semakin menyempit dan aksesnya itu semakin terbatas hanya untuk orang orang dengan latar belakang tertentu. Salah satunya yang paling diuntungkan adalah mereka yang memiliki pertalian darah atau perkawinan dengan elite yang pernah menjabat atau yang sudah lebih dahulu," ujar Yoes.