Logo

Calon Independen Diperkirakan Sulit Menang Pilkada 2024

Komjen Pol (Purn) Dharma Pongrekun (kiri) dan Kun Wardana Abyoto (kanan) menjadi calon indepernden di Pilkada Jakarta. (Foto: Istimewa)

JAKARTA -- Pengamat politik Unversitas Brawijaya, Anang Sudjoko memperkirakan calon independen yang akan bertarung dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 masih akan sulit menang seperti pada periode Pilkada sebelumnya. Selain soal susah menang, Anang menyebut, dari mulai pencalonan saja sudah banyak hal yang menjadi penyebab calon independen sulit untuk ambil bagian dalam kontestasi politik. 

Padahal kata dia, gagasan mengenai adanya calon independen yang pertama kali dibuka oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dengan merevisi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menjadi Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang pemerintahan daerah memiliki filosofi demokrasi yang luhur.

Pada saat itu, MK menilai ada banyak calon baik namun tidak mendapatkan tiket dari partai politik untuk maju sebagai calon kepala daerah karena berbagai syarat yang memberatkan. Di sisi lain, MK memberikan kesempatan pada calon independen, karena alasan semua pintu demokrasi harus dibuka. 

"Sayangnya, maksud baik MK tersebut tidak direspon dan didukung oleh aturan Pemilu yang tidak pro calon independen, sampai adanya upaya parpol menjegal calon tersebut karena punya elektabilitas lebih baik dari calon mereka. Belum lagi ketika mereka menang, maka relasi kepala daerah independen dengan DPRD seperti dipersulit," katanya saat berdialog dengan RRI Pro 3, Selasa (14/5/2024).

Menurut Anang, calon independen juga punya kekurangan tersendiri dari sisi internal mereka. Kesulitan tersebut, tambahnya, mulai dari sumber finansial yang terbatas, tim sukses yang kurang mumpuni, dan metode kampanye yang kurang efektif.

"Namun, calon independen masih punya peluang untuk menang. Syaratnya punya elektabilitas yang tinggi (lebih tinggi dari calon parpol), punya tim sukses yang mumpuni yang bisa mencari sumber-sumber fiannsial dan paham birokrasi pencalonan, serta memiliki dukungan dari tokoh masyarakat," sambungnya.

Anang mengutarakan peluang menang akan makin besar ketika punya elektabilitas tinggi dan didukung oleh adanya kekecewaan dari masyarakat terhadap calon dari parpol yang sebelumnya menjabat sebagai kepala daerah. Jadi calon independen akhirnya, menjadi alternatif utama bagi masyarakat.

Jumlah calon perseorangan yang mengikuti Pilkada memang fluktuatif tetapi cenderung menurun. Berdasarkan catatan, pada Pilkada 2015 yang mencapai 135 pasangan. 

Presentase keterpilihan calon perseorangan di Pilkada 2015 yang digelar di 269 daerah juga mencapai 9,63 persen. Kemudian pada Pilkada tahun 2017 yang berlangsung di 101 daerah, ada 68 pasangan calon perseorangan yang ikut berkontestasi atau turun hampir separuh dari jumlah calon perseorangan di Pilkada 2015

Pilkada 2018 yang diikuti 69 pasangan calon perseorangan, meski persentase keterpilihannya 2,22 persen. Saat itu, pilkada berlangsung di 171 daerah. Sedangkan padad 2020 yang digelar di 270 daerah, terdapat 61 pasangan calon perseorangan dengan persentase kemenangan 8 persen. Jumlah tersebut turun jika dibandingkan Pilkada 2018.