Bulan Ramadhan 1444 H baru saja berlalu. Pertanyaan strategis yang perlu menjadi renungan kita bersama adalah bagaimana pasca ramadhan. Bagaimana makna dan tujuan ramadhan 11 (sebelas) bulan berikutnya. Sayang, pemandangan yang terjadi adalah seolah kita mengalami “amnesia” terhadap makna penting Ramadhan, terutama meraih takwa personal dan sosial sebagai puncak hikmah dari ibadah shaum.
Seorang sahabat pernah bertanya pada Rasulullah SAW, 'Wahai Rasulullah, ajarilah aku tentang Islam ini suatu ucapan yang mana aku tidak perlu lagi bertanya tentang hal itu kepada orang lain setelah engkau. Beliau SAW menjawab, 'Katakanlah, aku beriman kepada Allah, kemudian beristiqomahlah!'HR Ahmad.
Ibnu Rajab al Hanbali menjelaskan hadits tersebut bahwa wasiat Nabi SAW ini sudah mencakup wasiat dalam agama ini seluruhnya. Istiqomah adalah menempuh jalan (agama) yang lurus (benar) tanpa berpaling ke kiri maupun ke kanan. Istiqomah mencakup pelaksanaan semua bentuk ketaatan kepada Allah SWT, lahir dan batin; meninggalkan semua bentuk larangan-Nya.
Salah satu bukti kita sukses melewati Ramadhan adalah dengan tetap istiqomah beribadah setelahnya. Setelah sebulan penuh kita bersungguh-sungguh dalam ibadah di bulan Ramadhan, kita ikuti dan kita jaga ibadah kita di bulan-bulan selanjutnya.
Tampak Ramadhan hanya menjadi perubahan dan kemeriahan instan dan bersifat sesaat. Instan karena begitu Ramadhan tiba, para wanita Muslimah, misalnya, ramai-ramai bersegera mengenakan kerudung dan busana islami; yang laki-laki mengenakan gamis dan berpeci.
Selain instan, fenomena keagamaan di atas juga bersifat sesaat karena, seperti yang lalu-lalu, semua itu sering hanya berlangsung selama Ramadhan saja. Begitu Ramadhan pergi, semua kegiatan dan fenomena keagamaan itu pun berhenti.
Fenomena seperti itu sudah berlangsung bertahun-tahun dan berulang.
Ramadhan yang sejatinya sebagai media perubahan dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan bertakwa secara hakiki cenderung bersifat sementara dan tidak permanen.
Pasca Ramadhan, kehidupan serba bebas, hedonis, politik menghalalkan segala cara dan arus budaya Barat lainnya kembali menyeruak di tengah-tengah kehidupan. Padahal, dalam pandangan Islam setiap perilaku kemaksiatan merupakan perbuatan dosa dan mendapat murka dari sisi Allah SWT tanpa mengenal waktu dan tempat.
Inilah wajah sekuler negeri ini ketika syariat Islam hanya menjadi urusan ibadah yang sifatnya individual, tidak berpengaruh pada kehidupan masyarakat dan negara.
Sekularisme menghasilkan orang-orang yang bermental hipokrit; lain di ruang ibadah, lain di ruang publik. Semestinya, dengan mengerjakan puasa dengan benar, kaum muslimin akan terbimbing menuju pribadi yang agung. Gemar beramar maruf nahi mungkar dan senantiasa bersemangat untuk melaksanakan perintah Allah SWT.
Ia akan menjalankan hukum-hukum Allah tanpa pilah-pilih, juga meninggalkan kemungkaran tanpa ditunda-tunda.
Inilah makna dari ayat tentang puasa, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa”.(QS al-Baqarah [2]: 183).
Menurut al-Jazairi, frasa “agar kalian bertakwa” bermakna: agar dengan shaum itu Allah SWT mempersiapkan kalian untuk bisa menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya (Al-Jazairi, I/80).
Dengan kata lain, takwa adalah kesadaran akal dan jiwa serta pengetahuan syar’i akan wajibnya mengambil halal-haram sebagai standar bagi seluruh aktivitas dan merealisasikannya secara praktis (’amalî) di tengah-tengah kehidupan.
Nilai esensial dari seluruh ibadah wajib dan sunnah pada bulan Ramadhan ini harus mewujud dalam sebuah spektrum jiwa yang pasrah, tunduk dan sepenuhnya berjalan di bawah kesadaran ketuhanan (ihsân).
Semua ini bermuara pada sebuah kesadaran bahwa Allahlah satu-satunya yang wajib disucikan (dengan hanya beribadah kepada-Nya) baik di kesunyian ataupun di keramaian; dalam kesendirian maupun berjamaah; di waktu malam ataupun siang; dalam keadan sempit atau lapang; di daratan ataupun di lautan. Semua itu mengalir sampai ujung batas kesempatan hidupnya.
Takwa harus tercermin dalam kesediaan seorang Muslim untuk tunduk dan patuh pada hukum Allah. Kesediaan kita untuk tunduk dan patuh pada seluruh hukum syariah Islam inilah realisasi dari ketakwaan dan kesalihan personal, demikian pula dengan hukum-hukum Allah SWT yang bersifat sosial.
Akhirnya, kita memohon semoga semua amalan di bulan Ramadhan diterima oleh Allah SWT, demikian juga semoga diberikan kekuatan dan taufik kepada kita semua untuk tetap istiqomah pasca Ramadhan.
Wallâhu a’lam bi ash-shawâb (Bahrul ulum Ilham, ketua Yayasan Smart Insan Utama)
Cek berita dan artikel yang lain infosulawesi.com di Google News