INFOSULAWESI.com, JAKARTA -- Perhimpunan Pendidikan dan Guru atau P2G menilai kebijakan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Pemprov NTT) mengharuskan siswa SMA/SMK di Kota Kupang masuk sekolah jam 5 pagi yang kemudian direvisi menjadi pukul 5.30 Wita tidak melalui kajian akademis terlebih dahulu.
Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim mengatakan publik tidak mengetahui hal yang dasar pijakan kebijakan masuk sekolah jam 5 pagi tersebut. Jika pun ada, dokumen kajian akademis tidak bisa diakses publik.
“Ini jelas melanggar asas transparansi dan partisipasi publik, seharusnya ada kajian secara filosofis, sosiologis, pedagogis, termasuk geografis mengingat banyak sekolah di NTT yang jarak antara rumah siswa/guru dengan sekolah sangat jauh bahkan ada yang lebih 5 kilometer dan berjalan kaki menuju sekolah," kata Satriwan dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu (1/3/2023).
Menurut Satriwan, kebijakan ini juga tidak berkorelasi dengan capaian kualitas pendidikan di NTT. Pasalnya, masalah pendidikan di NTT ini sangat banyak, di antaranya adalah berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2021, NTT menjadi provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi sebesar 37,8 persen.
Kemudian, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021, indeks pembangunan manusia (IPM) NTT 65,28 peringkat ke-32 dari 34 provinsi. Selain itu, berdasarkan Neraca Pendidikan Daerah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (NPD Kemendikbudristek) tahun 2021, masih banyak kelas-kelas di sekolah dalam kondisi rusak 47.832 kelas.
“Ada 66 persen SD belum dan berakreditasi C, 61 persen SMP belum dan berakreditasi C, 56 persen SMK belum dan berakreditasi C dan ribuan guru honorer di NTT diberi upah jauh di bawah UMK/UMP berkisar antara Rp 200.000 hingga Rp 750.000 per bulan,” papar Satriwan.
Menurut Satriwan, dengan kondisi tersebut menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara masuk sekolah jam 5 pagi dengan upaya peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM), menurunkan stunting, memperbaiki bangunan ruang kelas/sekolah, memperbaiki akreditasi atau kualitas sekolah, dan meningkatkan kesejahteraan guru honorer.
"Mestinya kebijakan pendidikan pemprov fokus saja pada masalah yang esensial dan pokok di atas. Bisa dikatakan Pemprov NTT menggaruk yang tidak gatal,” kecam Satriwan.
Satriwan juga menambahkan masuk sekolah jam 5 pagi sepertinya akan menjadi kebijakan masuk sekolah terpagi di dunia. Kebijakan yang akan ditertawakan oleh komunitas pendidikan internasional nantinya. Pasalnya, kebijakan tersebut sangat tidak ramah anak, orangtua, dan guru.
“Kalau masuk sekolah jam 5 pagi, pasti bangunnya pukul 4.00, bahkan bisa saja pukul 3.00 pagi jika jarak antara sekolah, rumah jauh, bahkan masih banyak siswa yang berjalan kaki menuju sekolah yang jauh. Dan tak mungkin guru-guru datang ke sekolah jam 5 pagi melainkan lebih pagi lagi. Belum lagi bagi wilayah yang minim sarana transportasi umum atau akses jalan yang sulit diakses termasuk minim penerangan lampu jalan,” papar Satriwan.
Sementara itu, Wilfridus, Ketua P2G Provinsi NTT menilai Pemprov NTT tidak mempertimbangkan kebijakan tersebut dengan landasan kajian secara geografis dan transportasi publik.
Dalam laporan jaringan P2G NTT, kondisi pagi pukul 5.00 Wita masih sepi aktivitas masyarakat dan suasana masih gelap. Hal ini sangat berpotensi terjadinya tindak kriminalitas atau faktor keamanan. Kemudian, kebijakan masuk sekolah ini berpotensi meningkatkan biaya hidup orang tua siswa.
“Sebab bagi yang rumahnya jauh dari sekolah ditambah belum ada kendaraan umum beroperasi jam tersebut, mereka akan terpaksa mengontrak kos-kosan di dekat sekolah, tentu berdampak pada membengkaknya biaya hidup tambahan per bulan. Atau mereka terpaksa beli kendaraan bermotor. Pengeluaran biaya sekolah membengkak naik,” ucapnya.
Frid menuturkan kondisi demikian tak hanya terjadi bagi siswa tetapi juga guru. Dalam hal ini, yang paling berdampak secara biaya hidup adalah guru honorer.
Untuk itu, P2G mendesak agar Pemprov NTT menghentikan kebijakan tersebut. Kebijakan yang tidak ada pijakan akademisnya sedikitpun. Tidak ramah terhadap siswa, orang tua, dan guru. Dalam hal ini, P2G meminta Menteri Dalam Negeri (Mendagri) mengevaluasi dan menegur Pemprov NTT.
P2G juga meminta Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) berkoordinasi dan berkomunikasi dengan Pemprov NTT untuk mengkaji ulang kebijakan pendidikan tersebut serta meningkatkan intensitas pendampingan sesuai kewenangan Kemdikbudristek dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan guru di NTT.