Oleh: Muhamad Catur Gunandi
Haji terakhir itu tahun lalu yang saya lakukan (2024), dan menjadi yang paling istimewa.
Dari awal, saya memang sengaja pilih paket haji yang paling lengkap dan paling mahal (Haji Furoda Rp 945 juta -red). Bukan untuk pamer atau sok-sokan, tapi jujur aja, saya pengen ibadah ini jadi pengalaman terbaik, terfokus, dan tenang.
Saya nggak mau repot mikirin antre kamar mandi, rebutan makan, atau tidur berhimpitan. Dalam bayangan saya, haji yang khusyuk itu ya yang kita bisa jalani dengan kepala tenang dan badan nyaman jadi ibadah juga bisa maksimal. Makanya saya ambil hotel bintang lima, pesawat first class, kendaraan pribadi yang siap antar jemput saya di Makkah dan Madinah, bahkan itinerary-nya pun terasa seperti paket liburan eksklusif, tapi dengan nuansa ibadah.
Saya pikir, ya Allah itu kan Maha Baik, masak saya nggak boleh menikmati kebaikan-Nya lewat fasilitas yang memudahkan saya beribadah?
Tapi semua berubah sejak hari keberangkatan. Bukan karena cuaca atau kesalahan saya sendiri, tapi karena tiba-tiba nama saya dikeluarkan dari manifest penerbangan. Tanpa alasan yang jelas, bagasi saya dikembalikan dan saya diminta bersabar. Ini di hari H lho, di 5 jam sebelum boarding.
Tim travel pun sibuk mencarikan solusi dan akhirnya saya dapat penerbangan pengganti. Bukan lagi first class, bukan lagi langsung ke Jeddah. Saya harus transit ke Riyadh dulu, lalu lanjut naik pesawat lokal ke Madinah. Di titik itu, saya masih bisa menenangkan diri. Dalam hati saya bilang, “Gak apa-apa, mungkin ini cuma uji kesabaran kecil. Nanti juga akan nyaman lagi begitu sampai.”
Tapi ternyata Allah belum selesai menata ulang rencana saya. Sampai di Madinah, jadwal mepet banget. Saya cuma sempat mandi secepat kilat, makan buah jeruk seadanya di lobi hotel, lalu langsung bergegas lagi naik kereta cepat menuju Makkah. Belum sempat buka koper, apalagi rebahan buat istirahat. Badan capek, pikiran campur aduk, tapi saya masih nahan semuanya dalam diam. Saya pikir, ya sudah, nanti di hotel Makkah bisa leluasa istirahat.
Sampai di Makkah, saya langsung ke hotel tempat saya seharusnya menginap. Tapi waktu dicek, petugas hotel bilang nama saya gak ada. Saya pikir mereka salah input, jadi saya tunggu. Tapi setelah dicek ulang berkali-kali, tetap nggak ketemu. Nggak ada kamar untuk saya. Nggak ada catatan pemesanan. Dan akhirnya saya diarahkan ke sebuah dorm, tempat sementara yang isinya banyak jamaah lain, koper berjejeran, udara panas, dan aroma campur aduk. Sebagian dari Indonesia, sebagian dari India, dan saya sendiri di tengah mereka, duduk lemas dengan satu pikiran yang nggak bisa saya tolak: “Ya Allah, ini bukan yang saya bayangkan.”
Saya duduk di pojokan, sambil pelan-pelan mencoba menerima bahwa rencana saya sudah gagal total. Saya datang jauh-jauh, bayar mahal, bawa niat ingin ibadah yang nyaman dan eksklusif. Tapi sekarang saya ada di ruangan penuh orang asing, nggak tahu harus tidur di mana, dan bahkan belum sempat benar-benar menata hati.
Tapi justru di situ, untuk pertama kalinya, saya merasa Allah sedang benar-benar hadir bukan lewat fasilitas, tapi lewat rasa yang pelan-pelan mengikis ego.
Dan Arafah… adalah puncaknya.
Paket haji saya menjanjikan tenda ber-AC, makanan berkualitas, dan suasana tenang. Tapi yang saya temukan justru tenda besar yang ramai, panas, dan lebih mirip camp mahasiswa ketimbang akomodasi bintang lima.
Saya sempat ketawa kecil, bukan karena lucu, tapi karena baru sadar betapa keras kepala saya selama ini. Saya pikir saya bisa mengatur segalanya. Saya pikir saya bisa beli kenyamanan.
Tapi Allah cuma butuh beberapa kejadian sederhana untuk membuat saya sadar bahwa haji bukan tentang “apa yang saya bayar”, tapi “apa yang saya lepaskan”.
Saya buka mushaf kecil yang saya bawa, cuma iseng, berharap ada ayat yang bisa sedikit menenangkan. Tapi entah kenapa, jari saya berhenti di surat Al-Isra, ayat 25. Saya baca pelan-pelan: “Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu. Jika kamu orang yang baik, maka sungguh Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat.”
Saya gak bisa tahan lagi. Hati saya langsung pecah. Karena saya tahu, saya datang ke sini gak sepenuhnya bersih. Ada keinginan untuk jadi istimewa. Ada ego yang ingin ibadah tapi tetap nyaman. Ada rasa ingin dilihat sebagai orang yang “mampu beribadah dengan gaya terbaik”. Dan Allah tahu itu. Bahkan sebelum saya sadar.
Ternyata, yang Allah ingin bersihkan bukan tubuh saya, tapi isi hati saya.
Mungkin inilah kenapa semua kejadian itu terjadi. Dari pesawat yang diganti, kamar yang nggak tersedia, waktu yang kejar-kejaran, sampai tenda yang jauh dari ekspektasi, semuanya bukan musibah. Tapi justru bentuk rahmat. Allah sayang saya, dan Dia tunjukkan dengan cara yang keras tapi lembut. Dihantam kenyataan, tapi dipeluk dengan firman.
Sekarang, menjelang Idul Adha, seperti biasa saya setiap tahun berniat qurban seperti tahun-tahun sebelumnya, dan Alhamduilillah qurban tahun ini akan dengan pemahaman lebih baik, qurban itu bukan cuma soal sapi atau kambing.
Qurban yang paling sulit justru adalah menyembelih ego. Rasa ingin dianggap. Rasa ingin tampil lebih. Rasa pengen ibadah tapi tetap dimanjakan dunia.
Dan kalau kemarin Allah koreksi haji saya, mungkin sekarang giliran saya yang harus jaga niat saat ingin qurban. Karena qurban yang diterima Allah bukan daging atau darahnya. Tapi ketulusan dari hati yang rela disembelih, diam-diam, hanya untuk-Nya.
Untuk semua yang sedang berhaji, semoga Allah terima hajinya dan ada hikmah yang membuka hati untuk selalu dekat denganNya.
semoga kita bisa sama sama berjumpa dan bersua di Arafah dengan bintang 5 nya masing masing. Bintang 5 yang terbaik untuk hati
Simak berita dan artikel lainnya di: Google News infosulawesi.com
Ikuti info terbaru di: WhatsApp Channel Infosulawesi