Oleh: Irjenpol (Purn) Drs. Frederik Kalalembang
GELOMBANG tuntutan reformasi kepolisian semakin deras. Publik menaruh harapan agar polisi kembali ke jalan pengabdian sejatinya, yakni menghadirkan rasa aman, menegakkan keadilan, dan melayani dengan sepenuh hati.
Namun, kenyataan di lapangan justru menunjukkan jurang yang makin lebar antara harapan dan realitas. Polisi terus mengusung jargon reformasi, tetapi suara masyarakat tetap saja menggema: “no viral, no justice”.
Reformasi kepolisian sejatinya bukan semata apa yang dilakukan, melainkan siapa yang menjalankan dan bagaimana komunikasi dibangun. Aturan sudah ada, struktur pun tidak salah. Tetapi selama komunikasi putus dan fakta di lapangan diabaikan, maka perubahan hanya berhenti di atas kertas.
Yang sering luput disadari, fungsi kontrol di internal kepolisian justru semakin lemah. Laporan ke atasan dulu membuat anggota ketakutan, kini publik lebih takut bahwa laporan mereka tak akan berarti bila tidak menjadi sorotan media sosial.
Fenomena ini memunculkan ironi. Semakin deras aspirasi reformasi, semakin banyak pula “elemen masyarakat” yang justru meredam perubahan dengan mempertahankan status quo.
Padahal, di tengah krisis kepercayaan publik, yang dibutuhkan adalah keteladanan, bukan retorika. Masyarakat menunggu polisi yang berani tampil sederhana, terbuka, dan berpihak pada kebenaran. Bukan aparat yang sibuk membangun pencitraan, lalu gagap ketika kenyataan berbeda di lapangan.
Ilusi reformasi kerap menguras energi. Setiap kali jargon baru digulirkan, publik hanya mengangguk dingin. Bukan karena tidak ingin mendukung, tetapi karena pengalaman panjang menunjukkan janji reformasi sering berhenti di ruang rapat.
Komunikasi yang jujur dan keterbukaan menerima kritik seolah menjadi barang mewah. Akibatnya, polisi tidak lagi tampil sebagai institusi yang dipercaya, melainkan sekadar aparat formal yang kehilangan roh pengabdian.
Polisi tidak boleh terjebak dalam ritual reformasi tanpa jiwa. Perubahan kultur dan budaya memang terus digembar-gemborkan, tetapi selama komunikasi macet dan pengawasan tidak berjalan, semua akan kembali menjadi lingkaran setan.
Reformasi bukanlah proyek administratif, ia adalah perjalanan moral yang menuntut keberanian untuk melihat kesalahan sendiri dan memperbaikinya.
Publik tidak menuntut kesempurnaan, tetapi ketegasan sikap dan konsistensi. Polisi yang mau mendengar suara hati rakyat, bukan menutup diri. Polisi yang berani mengambil risiko untuk benar, bukan menunggu viral baru bertindak.
Jalan kembali ke misi mulia itu masih terbuka, asalkan ada keberanian untuk menghidupkan kembali komunikasi, menegakkan kontrol, dan menempatkan keadilan sebagai nafas utama. (*)