TANA TORAJA — Suasana haru menyelimuti Lembang Kurra, Tana Toraja. Tongkonan Ka’pun, rumah adat berusia sekitar 300 tahun yang menjadi simbol persatuan keluarga besar, sempat dijadwalkan untuk dieksekusi akibat sengketa lahan. Namun pelaksanaan eksekusi tersebut akhirnya ditunda setelah muncul desakan kuat dari masyarakat dan tokoh adat yang meminta agar dilakukan pendekatan yang lebih manusiawi dan beradab.
Menanggapi hal itu, Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat Irjen Pol (P) Drs. Frederik Kalalembang menyampaikan rasa prihatin dan kesedihan mendalam atas situasi tersebut. Ia menyoroti tindakan eksekusi yang dalam beberapa kasus sebelumnya dilakukan dengan menggunakan alat berat jenis excavator untuk merobohkan Tongkonan yang berdiri di atas lahan sengketa.
“Saya kira tidak ada masalah yang tidak bisa dinegosiasikan, sekalipun sudah ada putusan hukum yang inkrah. Kita sebagai orang Timur, terlebih sebagai orang Toraja, harusnya bisa mengedepankan musyawarah dan duduk bersama. Kalau pun harus dieksekusi, tidak seharusnya menggunakan excavator terhadap rumah adat yang sudah ratusan tahun berdiri,” ujarnya, Selasa (7/10/2025).
Jangan Mengorbankan Nilai Budaya
Frederik yang juga dikenal sebagai Ketua Umum Ikatan Keluarga Toraja Nusantara (IkaTNUS) menegaskan, langkah hukum memang harus dihormati, tetapi penyelesaiannya tidak boleh mengorbankan nilai budaya dan rasa kemanusiaan.
Ia berharap agar proses Restorative Justice (RJ) dapat ditempuh terlebih dahulu agar semua pihak yang bersengketa dapat berdamai tanpa meninggalkan luka sejarah bagi generasi penerus.
“Dalam waktu dekat, saya akan mengundang para tokoh adat, masyarakat, dan aparat penegak hukum untuk duduk bersama. Tujuannya agar ke depan, peristiwa seperti ini tidak lagi naik ke pengadilan, terutama menyangkut Tongkonan yang berusia ratusan tahun. Ini bukan sekadar soal hukum, tapi soal jati diri dan sejarah keluarga besar kita,” tegas Frederik.
Ia juga mengingatkan bahwa konflik tanah dan perebutan hak atas Tongkonan sering kali terjadi karena putusnya ruang komunikasi antarkeluarga. Padahal, Tongkonan sejatinya adalah pusat persaudaraan, tempat mengenang leluhur dan menyatukan keturunan dalam satu ikatan.
“Kita harus jujur bertanya, selama ini ke mana saja kita? Mengapa rumah adat yang menjadi lambang persatuan kini menjadi sumber perpecahan? Jangan sampai anak cucu kita nanti tumbuh tanpa saling mengenal hanya karena kita gagal menjaga warisan ini,” ucapnya lirih.
Frederik berharap, momentum penundaan eksekusi Tongkonan Ka’pun menjadi titik balik untuk membangun dialog budaya dan kemanusiaan di Toraja. Ia menegaskan, tidak ada kemenangan sejati dalam sengketa adat apabila yang tersisa hanyalah reruntuhan rumah leluhur dan hati yang saling menyalahkan.
“Mari kita jaga warisan nenek moyang dengan cara yang bermartabat. Cagar budaya bukan hanya kayu dan atap, tapi juga nilai dan jiwa orang-orang yang tinggal di dalamnya,” tutup Frederik dengan nada tegas namun penuh kehangatan.
Latar Belakang Sengketa Tongkonan Ka’pun
Sengketa lahan yang melibatkan Tongkonan Ka’pun bermula dari perkara perdata yang telah berjalan sejak tahun 2019 dengan nomor perkara 184/Pdt.G/2019/PN Makale, dan berlanjut hingga tingkat banding dan peninjauan kembali dengan nomor 268/PDT/2020/PT MKS, 1749/PK/Pdt/2021, serta 613 PK/Pdt/2022. Dalam putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah), pihak penggugat dinyatakan sebagai pemegang hak atas tanah di lokasi tersebut.
Namun, pihak keluarga pemilik Tongkonan Ka’pun menilai rumah adat berusia tiga abad itu tidak termasuk dalam objek sengketa yang dimaksud dalam putusan tersebut. Mereka kemudian mengajukan gugatan baru untuk melindungi Tongkonan sebagai situs warisan leluhur dan cagar budaya yang pernah dihuni hingga 16 generasi.
Awalnya, eksekusi dijadwalkan pada Rabu, 8 Oktober 2025, terhadap enam petak tanah dan satu area perumahan di lokasi Tongkonan Ka’pun. Namun dua hari sebelumnya, pada Senin (6/10/2025), Ketua PN Makale memutuskan untuk menunda pelaksanaan eksekusi hingga waktu yang belum ditentukan, setelah dilakukan pertemuan antara pihak pengadilan, pemerintah daerah, dan keluarga pemilik tongkonan.
Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan untuk membuka ruang dialog, termasuk opsi ganti rugi atau pembelian lahan sebagai solusi damai. Dengan demikian, hingga kini eksekusi belum dilaksanakan, dan masyarakat Toraja berharap perundingan dapat menghasilkan keputusan yang adil, tanpa harus meruntuhkan rumah adat yang menjadi simbol sejarah dan kebersamaan keluarga besar Toraja. (*)