BANYAK orang bilang, di republik ini cuma satu orang yang bisa membuat bumi bergetar tanpa gempa, Luhut Binsar Pandjaitan. Orang tua segala urusan, jenderal segala medan, yang konon bisa menelpon petir untuk minta hujan datang lebih cepat. Ketika beliau menuding seseorang, itu bukan tudingan biasa, itu perintah alam semesta. Kali ini, jari sakti itu menunjuk ke Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.
Bukan karena utang, bukan karena defisit, tapi karena Family Office, proyek ajaib yang konon bisa menarik miliaran dolar dari para dewa kekayaan dunia untuk parkir di Indonesia, tanpa pajak, tanpa khawatir, tanpa dosa fiskal. Sebuah ide yang terdengar seperti ekonomi syurga, tapi berpotensi bikin neraka fiskal kalau salah urus.
Luhut tampil seperti nabi investasi, berdiri gagah di podium, berkata, “APBN hanya kontribusi 10–15% terhadap perekonomian nasional. Kita perlu bersikap ramah terhadap investasi asing.” Ia seperti Daedalus yang ingin bangsa ini terbang dengan sayap modal asing. Ia meyakini, jika surga uang global mau turun ke tanah air, jangan lagi dijegal dengan birokrasi dan rasa takut.
Tapi di ujung sana, Menkeu Purbaya sudah mengangkat kalkulator seperti pedang. Ia menatap layar APBN yang berdetik pelan dan menjawab dingin, “Biar saja. Kalau Dewan Ekonomi Nasional mau bangun sendiri, bangun saja. Saya tidak akan alihkan anggaran ke sana.” Kalimat yang sederhana, tapi nadanya seperti mantra penolak badai.
Luhut menyindir balik, “Saya sudah tiga kali jadi Menko. Jangan dikira baru jadi menteri bisa langsung selesaikan masalah.” Sebuah kalimat yang jika diterjemahkan bebas berarti, “Nak, sebelum kau belajar menolak proyek, belajar dulu menolak tidur siang.”
Publik terbelah. Satu kubu bersorak, “Hidup investasi!” Kubu lain memuja, “Hidup kehati-hatian!” Tapi di tengah kebisingan itu, muncul aroma satire, sebuah duel antara Family Office, klub eksklusif para miliarder dunia yang ingin parkir harta tanpa pajak, melawan Kantor Anggaran, benteng terakhir akal sehat fiskal bangsa.
Luhut yakin proyek ini suci. Ia bahkan menyebut, “Dalam penyusunan kajian awal Family Office, tidak ada ketentuan yang merugikan kepentingan nasional berdasarkan hasil analisa AI.” Ya, Artificial Intelligence! Kini malaikat fiskal pun diganti robot, dan kitab kajian diganti algoritma. Tapi Purbaya tetap teguh. Ia tahu, setiap “nol persen pajak” punya potensi “seratus persen masalah.”
Dunia pun terdiam, lalu tertawa. Karena yang mereka saksikan bukan sekadar perbedaan pendapat, tapi duel filsafat, antara visi global dan visi realistis. Luhut ingin langit dijemput, Purbaya ingin bumi tidak retak.
Bila ini sandiwara, Luhut adalah aktor laga penuh ledakan. Sementara Purbaya pemeran utama film dokumenter fiskal yang tenang tapi menggigit. Yang satu bicara peluang, yang satu bicara tanggung jawab. Di tengahnya, rakyat cuma bisa nonton sambil bayar pajak dengan senyum getir.
Namun jika sejarah jujur, maka ia akan menulis begini, ada menteri yang berani menolak jadi bendahara pesta. Di saat semua orang ingin tampil glamor di gala dinner kapitalisme global, ia memilih menjaga dapur negara dari kebocoran minyak goreng.
Pantun fiskal pun lahir dari drama ini:
“Orang kaya parkir di Family Office, katanya suci tak berjejak dosa.
Tapi Purbaya menolak dengan tegas, sebab uang rakyat bukan persembahan pesta.”
Di ujung cerita, langit memang tetap di tangan Luhut, tapi bumi, bumi anggaran, masih dijaga oleh seorang Menkeu yang tahu bahwa menolak kadang jauh lebih heroik dari menandatangani.
Luhut menuding langit bergetar,
Purbaya tersenyum menatap neraca,
Yang satu ingin dunia terpetar,
Yang satu jaga kas agar tak binasa.
Dana global datang menari,
Bawa janji surga tanpa pajak,
Menkeu berkata, “Jangan sembari,”
“Negara bukan pesta anak konglomerat bijak.”
#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar