“Keadilan tanpa keberanian adalah kepengecutan yang dilembagakan.”— (adaptasi dari Montesquieu)
Ketika Presiden Prabowo Subianto menerbitkan abolisi terhadap Thomas Trikasih Lembong, publik mendebatnya dalam dua kutub: yang satu menuduh intervensi politik terhadap hukum, yang lain menyambutnya sebagai koreksi terhadap keadilan yang tersesat. Namun di balik kontroversi itu, ada dimensi yang jauh lebih penting dan strategis: keputusan abolisi ini membuka peluang untuk me-reset narasi korupsi di Indonesia, namun lebih dari itu ia dapat menjadi leverage (pengungkit) bagi demokratisasi keseluruhan sistem politik Indonesia.
Dengan kata lain, putusan abolisi itu bukan cuma menyelamatkan satu orang dari vonis yang janggal, putusan itu dapat menyelamatkan arah pembangunan nasional, di mana pembangunan ekonomi berjalan seiring dengan pembangunan politik. Dalam sekali tepuk, Prabowo berhasil mempersatukan seluruh bangsa yang saat ini terbelah oleh kekhawatiran akan kemunduran demokrasi dan kemacetan ekonomi akibat beban utang yang berat.
Tafsir Hukum yang Mengancam Masa Depan
Kasus Tom Lembong memperlihatkan betapa hukum bisa disalahgunakan melalui penafsiran sempit terhadap definisi korupsi. Dalam sistem hukum kita saat ini, korupsi dimaknai secara rigid: tindakan yang menyebabkan kerugian keuangan negara dan memperkaya pihak tertentu. Namun pendekatan ini mengabaikan kompleksitas relasi antara kebijakan publik, pengambilan keputusan strategis, dan ruang diskresi eksekutif dalam pembangunan.
Tom Lembong divonis karena kebijakan terbukanya dianggap menguntungkan perusahaan tertentu, meskipun:
- tidak ada keuntungan pribadi,
- tidak terbukti adanya mens rea (niat), dan
- tidak ada pelanggaran terhadap prosedur peraturan yang berlaku.
Jika setiap kebijakan yang berdampak pada pasar dianggap sebagai bentuk “keuntungan ilegal” bagi pihak tertentu, maka seluruh model pembangunan yang melibatkan swasta dan koperasi akan berada dalam ancaman hukum. Negara ini, sebagaimana saya sampaikan dalam tulisan Prabowo, Koperasi dan Subversi Sistemik, tidak akan maju bila pemerintah hanya boleh bekerja melalui BUMN saja.
Logika hukum yang demikian adalah bentuk subversi sistemik—suatu sabotase diam-diam terhadap arah pembangunan yang dilakukan melalui instrumen legal, bukan oposisi terbuka.
Redefinisi Korupsi sebagai Tindakan Strategis
Abolisi ini hendaknya tidak berhenti sebagai tindakan korektif semata. Ia perlu dirancang untuk menjadi pintu masuk bagi reset narasi korupsi. Dan reset ini tidak bisa dilakukan tanpa meredefinisi ulang apa itu korupsi secara etis dan struktural.
Korupsi harus dipahami tidak hanya sebagai kerugian fiskal, tetapi sebagai:
- penyalahgunaan kewenangan untuk akumulasi kekuasaan,
- konflik kepentingan yang tidak diungkap,
- pengaruh oligarki terhadap pembuatan regulasi, dan
- manipulasi kebijakan publik demi keuntungan politik jangka pendek.
Pengertian ini selaras dengan definisi dari Transparency International (2020), dan diperkuat oleh kajian Winters (2011) yang menunjukkan bahwa di banyak negara berkembang, korupsi politiklah yang justru menjadi akar dari disfungsi institusional lainnya.
Dengan redefinisi ini, narasi korupsi dapat menjadi lantaran bagi adaptasi:
- Partai politik akan terdorong menata ulang proses rekrutmen dan pendidikan kadernya. Mereka akan lebih mengutamakan integritas ketimbang uang.
- KPU dan Bawaslu akan punya ruang untuk menindak tidak hanya praktik uang, tetapi juga abuse of influence.
- Hakim dan jaksa akan terbebas dari belenggu formalisme, dan mulai bekerja berdasarkan keadilan substantif, bukan keadilan prosedural kosong.
Demokrasi dan Ekonomi: Dua Sisi dari Koin yang Sama
Prabowo secara strategis telah menyentuh inti dari relasi antara ekonomi dan demokrasi. Abolisi ini, jika dijadikan leverage, bisa memperbaiki struktur demokrasi yang saat ini rusak oleh kekuasaan yang terlalu transaksional. Demokrasi tidak akan berjalan baik bila hanya digunakan untuk melanggengkan elite tanpa koreksi. Sebaliknya, ekonomi tidak akan tumbuh sehat bila pemerintah dibatasi untuk hanya bekerja dengan BUMN yang lambat, politis, dan sering disandera oleh kepentingan partai.
Seperti ditunjukkan oleh Rodrik (2011), negara-negara yang berhasil membangun kesejarteraan rakyat adalah negara yang berhasil membangun institusi inklusif dan kemitraan lintas sektor—antara negara, swasta, dan masyarakat sipil. Jika seluruh aktivitas pembangunan yang melibatkan non-BUMN dikriminalkan, maka bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang terhenti, tapi juga legitimasi pemerintahan.
Abolisi sebagai Jalan Baru
Putusan abolisi terhadap Tom Lembong adalah momentum politik langka. Ia bukan tindakan lunak terhadap korupsi, melainkan tindakan berani untuk memperbaiki sistem hukum yang terlalu kaku dan mudah diperalat.
Jika dijalankan secara konsisten, keputusan ini bisa menjadi pintu masuk untuk:
- mengembangkan demokrasi yang etis,
- menata ulang sistem hukum yang berpihak kepada keadilan substantif, dan
- menghentikan subversi sistemik dari dalam institusi negara.
Abolisi ini, bila disertai agenda reformasi yang lebih luas, bisa menjadi awal dari transformasi sistem politik dan ekonomi Indonesia. Ia menyelamatkan bukan hanya satu orang, tapi potensi seluruh bangsa yang sedang mencari jalan untuk bertahan, tumbuh, dan bersatu di tengah tantangan global yang semakin kompleks.
“Tanpa redefinisi atas kejahatan, kita akan terus menghukum teknokrat dan membiarkan predator politik merajalela.”
Oleh: Radhar Tribaskoro
Cimahi, 7 Agustus 2025
Ikuti info terbaru di: WhatsApp Channel Infosulawesi