KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba, Senin lalu. Kasus itu mencuat terkait adanya dugaan korupsi lelang jabatan dan pengadaan barang dan jasa (PBJ).
Mungkin kita sudah lelah mendengar kabar penangkapan oknum pejabat pusat maupun daerah yang terjerat kasus korupsi. Dan, OTT Gubernur Maluku Utara ini tentu bukanlah kasus pertama di tahun ini, karena ada deretan kasus serupa yang telah ditangani KPK.
Bahkan sejak 2021 KPK telah membongkar sejumlah kasus kejahatan korupsi yang umumnya aktor utamanya adalah oleh oknum pimpinan daerah. Miris rasanya, sebab sejauh ini korupsi kepala daerah itu ibarat makan buah simalakama, khususnya bagi anak buahnya.
Modus jual beli jabatan merupakan bentuk korupsi klasik kepala daerah. Polanya sebenarnya cukup sederhana, anak buah yang ingin menempati jabatan tertentu, maka ia harus membayar sejumlah mahar yang ditetapkan oknum kepala daerah.
Operasi penindakan yang dilakukan KPK terhadap oknum kepala daerah yang diduga korupsi seolah-olah tidak membuat kapok. Nyali untuk melakukan kejahatan korupsi tetap saja tumbuh dengan memanfaatkan jabatannya.
Padahal, KPK sudah mengingatkan kepada kepala daerah agar menjauhi potensi benturan kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Utamanya dalam proses lelang jabatan, rotasi, mutasi, dan promosi para aparatur sipil negara. Selain itu juga terkait dengan belanja daerah seperti pengadaan barang dan jasa.
Kecurigaan kita mungkin juga mengarah lantaran biaya pemilu yang tinggi ketika seseorang ingin menjadi kepala daerah. Sehingga oknum kepala daerah itu akan berupaya mengembalikan modalnya, terutama kepada para sponsor. Ini bisa terjadi karena sesungguhnya di dalam dunia politik tidak ada makan siang gratis, jadi sikap adalah fungsi kepentingan.