Logo

Kenaikan Pajak Hiburan dan Kelangsungan Usaha

Para pelaku usaha hiburan dan organisasi yang menaungi menggelar diskusi di Badung, awal pekan ini. Diskusi untuk merespons kenaikan pajak hiburan dari 15 persen menjadi 40 persen (Foto: Antara/Fikri Yusuf/nz)

SEJUMLAH daerah di Indonesia telah mengumumkan kenaikan tarif pajak dan jasa tertentu (PBJT) untuk kategori hiburan pada 2024. Ketetapan itu mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Undang-undang tersebut membawa perubahan dalam kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah. Salah satunya adalah Pajak atas Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Namun kenaikan paling signifikan berlaku untuk pajak hiburan seperti karaoke, diskotek, bar, klub malam, dan spa, yakni menjadi 40-75 persen.

Kenaikan tarif pajak itu membuat sejumlah pelaku usaha mengeluh karena dianggap tidak rasional. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jakarta, Sutrisno Iwantono mengatakan kenaikan pajak hiburan ini menyulitkan pelaku usaha hiburan. 

Pendapat senada disampaikan Ketua Umum Apindo, Shinta W. Kamdani yang menyebut, idealnya pajak hiburan untuk klub malam, spa, diskotek, maupun karaoke sebesar 10 persen. Maka peraturan baru untuk besaran pajak itu dinilai terlalu tinggi, sehingga sangat berdampak pada bisnis hiburan yang menjadi bagian industri pariwisata.

Mungkin benar, bahwa menaikkan pajak hiburan justru bisa menjadi bumerang bagi pemerintah. Bahkan kontradiksi dengan kebijakan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang ingin mendatangkan wisatawan asing maupun domestik.

Kita bisa berkaca dari negara tetangga Thailand, Singapura, Filipina, maupun Malaysia yang justru menurunkan pajaknya untuk menarik wisatawan. Seperti diketahui PBJT adalah pajak yang dibayarkan konsumen akhir atas konsumsi barang dan/ atau jasa tertentu, sehingga dengan kenaikan 75 persen, maka uang yang harus dibayarkan konsumen dipastikan meningkat.

Silang pendapat seputar kenaikan pajak ini mungkin sedikit terhibur dengan respons pemerintah yang mengatakan belum ada alasan kuat menaikkan pajak hiburan. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menyatakan kebijakan kenaikan pajak hiburan ditunda penerapannya.

Semoga ini menjadi kabar baik, sembari menunggu hasil judicial review yang diajukan sejumlah asosiasi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dan, mesti diingat bisnis hiburan itu pada prinsipnya adalah labour insentif.