SEBANYAK 15.922 narapidana yang beragama Kristen dan Katolik di seluruh Indonesia mendapatkan remisi khusus (RK) Natal 2023. Dari jumlah tersebut sebanyak 15.823 narapidana menerima RK I atau pengurangan sebagian dari masa hukuman.
Sebelumnya Kementerian Hukum dan HAM menyebut, sekitar 146.260 dari 196.371 narapidana beragama Islam di Indonesia menerima remisi khusus Idul Fitri 2023. Sebanyak 66.886 di antaranya merupakan pelaku tindak pidana umum.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), remisi adalah pengurangan hukuman yang diberikan kepada orang yang terhukum. Memang ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi narapidana agar bisa menerima remisi.
Mengutip laman Kementerian Hukum dan HAM, regulasi remisi sebenarnya telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Selain itu juga dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang bebas, dan Cuti Bersyarat.
Persoalannya apakah remisi itu benar-benar memiliki efek jera bagi para pelanggar hukum, atau hanya sekadar gugur kewajiban menjalankan peraturan yang ada? Harapannya tentu tidak demikian, apalagi bagi narapidana kasus-kasus korupsi.
Kita mungkin sepakat dengan Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM yang mengungkapkan bahwa semakin mudahnya terpidana korupsi mendapat remisi justru akan membuat efek jera menjadi hilang. Ini dikhawatirkan akan melemahkan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Pemberian remisi sejatinya merupakan penghargaan negara kepada narapidana yang berusaha benar-benar berbuat baik agar bisa kembali hidup normal di tengah masyarakat. Oleh karena itu, pemberian remisi hendaknya tetap mempertimbangkan kepentingan keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilan masyarakat.
Cek berita dan artikel yang lain infosulsawesi.com di Google News