Dihadapan ratusan peserta Rakornas Kepala Daerah dan FKPD seluruh Indonesia di Sentul International Convention Center, Jawa Barat, Presiden Jokowi mengungkapkan kesedihannya. Katanya, “Kadang-kadang saya berpikir, sesusah itukah orang yang akan beribadah? Sedih itu kalau kita mendengar.”
Selain kesedihan, Presiden juga mengritik masih adanya larangan pendirian rumah ibadah di sejumlah daerah. Ada rapat Forum Kerukunan Umat Beragama yang bersepakat tidak memperbolehkan membangun tempat ibadah. Selain kesepakatan FKUB, ada pula peraturan wali kota (Perwali) ataupun instruksi bupati (Inbup) yang tidak mengizinkan pendirian rumah ibadah.
Kesedihan Presiden sejatinya diungkapkan pula kalangan masyarakat kewargaan (civil society), seperti misalnya Setara Institute. Lembaga ini didedikasikan pada gagasan bahwa setiap orang harus diperlakukan sama, menghormati keberagaman, mengutamakan solidaritas dengan menjunjung tinggi martabat manusia.
Setara mengapresiasi pernyataan dan arahan Presiden kepada Pemerintah Daerah dan Forkompimda sebagai salah satu pesan terkuat yang disampaikan secara terbuka. Persoalan kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia bukan hanya secara umum soal toleransi dan kebinekaan.
“Situasi faktual persoalan peribadatan dan pendirian tempat ibadah lebih serius dari apa yang disampaikan Presiden.” Begitu setara institute pendapatnya.
Tanggapan lain datang dari Kelompok Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Kompak KBB. Mereka mengatakan, Presiden kurang cermat, sebab persoalan larangan peribadatan juga dampak dari peraturan yang tidak kompatibel dengan HAM, misalnya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 (PBM) tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Derah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah.
Pelanggaran terhadap kebebasan beragama/berkeyakinan justru dipicu negara yang melahirkan ketentuan hukum restriktif terhadap warga negara yang memeluk agama/keyakinan yang dianggap berbeda dari mainstream. Di sejumlah kasus, aparat pemerintah setempat justru mendukung aksi kelompok yang melakukan pelarangan bahkan perusakan.
Yang paling lazim, aparat hanya diam atas aksi-aksi kekerasan itu. Aksi kelompok penentang juga disebabkan minimnya pengetahuan atas kebebasan sipil warga negara.
Dalam komunikasi politik, pesan-pesan komunikator politik lazimnya dijembatani media, lalu disebarkan kepada komunikan, baik politisi maupun khalayak pada umumnya.
Dalam kasus ini, Presiden berbicara langsung kepada para politisi yaitu para Kepala Daerah dan FKPD. Pesan politik Presiden itu berpijak pada pasal 29 ayat 2 UUD 1945. “Konstitusi tak boleh kalah dengan Instruksi Bupati,” kata Presiden. Terima kasih.
Dr. Phil. Lukas S. Ispandriarno
(Dosen FISIP UAJY)
*)Tulisan atau artikel opini yang dipublikasikan tidak mencerminkan pandangan redaksi. Hak cipta dan pertanggungjawaban dari tulisan, berita, atau artikel yang dikutip dari media lain atau ditulis sendiri sepenuhnya dipegang penulis.