Logo

Menko Polhukam: Putusan PN Jakpus Tunda Pemilu Berlebihan

Menko Polhukam Mahfud MD.

kpu700_14

INFOSULAWESI.com, JAKARTA -- Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Partai Prima kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan memerintahkan agar Pemilu 2024 ditunda. Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan, PN Jakarta Pusat membuat sensasi berlebihan dengan landasan empat poin hukum.

"Masak, KPU divonis kalah atas gugatan sebuah partai dalam perkara perdata oleh PN. Bahwa vonis itu salah, logikanya sederhana, mudah dipatahkan," kata Mahfud dalam keterangan tertulis, Kamis (2/3/2023) malam.

"Tapi, vonis ini bisa memancing kontroversi yang bisa mengganggu konsentrasi. Bisa saja nanti ada yang mempolitisir seakan-akan putusan itu benar," kata Mahfud.

Dia juga memberikan saran untuk KPU sebagai pihak tergugat. "Saya mengajak KPU naik banding dan melawan habis-habisan secara hukum," kata Mahfud.

Bahkan, dia meyakini, apabila secara logika hukum, KPU pasti menang. "Mengapa? Karena PN tidak punya wewenang untuk membuat vonis tersebut," ucap dia. 

Mahfud MD adalah Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Dia juga pernah menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi, periode 2008-2013.

"Alasan hukumnya begini (masih pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD):

1.Sengketa terkait proses, administrasi, dan hasil pemilu itu diatur tersendiri dalam hukum. Kompetensi atas sengketa pemilu bukan di Pengadilan Negeri. 

Sengketa sebelum pencoblosan jika terkait proses admintrasi yang memutus harus Bawaslu. Tapi, jika soal keputusan kepesertaan paling jauh hanya bisa digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Nah, Partai Prima sudah kalah sengketa di Bawaslu dan sudah kalah di PTUN. Itulah penyelesaian sengketa administrasi jika terjadi sebelum pemungutan suara. 

Adapun jika terjadi sengketa setelah pemungutan suara atau sengketa hasil pemilu, maka menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi (MK). Itu pakemnya.

Tak ada kompetensinya Pengadilan Umum. Perbuatan melawan hukum secara perdata tak bisa dijadikan obyek terhadap KPU dalam pelaksanaan pemilu.

2.Hukuman penundaan pemilu atau semua prosesnya tidak bisa dijatuhkan oleh PN sebagai kasus perdata. Tidak ada hukuman penundaan pemilu yang bisa ditetapkan oleh PN. 

Menurut Undang-Undang, penundaan pemungutan suara dalam pemilu, hanya bisa diberlakukan oleh KPU. Untuk daerah daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia.

Misalnya, di daerah sedang ditimpa bencana alam, menyebabkan pemungutan suara tak bisa dilakukan. Itu pun bukan berdasar vonis pengadilan, tetapi menjadi wewenang KPU untuk menentukannya sampai waktu tertentu.

3.Menurut saya, vonis PN tersebut tak bisa dimintakan eksekusi. Harus dilawan secara hukum dan rakyat bisa menolak secara masif, jika akan dieksekuasi. 

Mengapa? Karena hak melakukan pemilu itu bukan hak perdata KPU.

4.Penundaan pemilu hanya karena gugatan perdata parpol, bukan hanya bertententang dengan Undang-Undang. Tetapi, juga bertentangan dengan konstitusi yang telah menetapkan pemilu dilaksanakan lima tahun sekali.

Kita harus melawan secara hukum vonis ini. Ini soal mudah, tetapi kita harus mengimbangi kontroversi atau kegaduhan yang mungkin timbul".