Logo

Tongkonan Bukan Sekadar Rumah, Tapi Jati Diri

Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Irjen Pol (P) Drs Frederik Kalalembang

Oleh : Irjen Pol (P) Drs Frederik Kalalembang

EKSEKUSI rumah Tongkonan di Lembang Kalumpang, Kecamatan Balusu, Toraja Utara, akhirnya dilaksanakan oleh PN Tana Toraja dikawal aparat kepolisian, Jumat 26 September 2025, setelah melalui proses hukum yang panjang.

Beberapa kali upaya mediasi dilakukan, melibatkan tokoh masyarakat, tokoh adat, hingga pemerintah, namun tidak kunjung membuahkan kesepakatan.

Pada akhirnya, pembongkaran yang dikawal aparat berjalan lancar, meski meninggalkan luka emosional bagi sebagian masyarakat.

Bahkan rumah adat yang selama ini menjadi kebanggaan dan pusat acara keluarga hancur tak bersisa. Tangis histeris dan sumpah serapah pun sempat terlontar dari sejumlah warga.

Saya memahami, peristiwa ini menimbulkan pro dan kontra yang begitu tajam.

Ada yang menghubungi saya untuk meminta agar pembongkaran ditunda, namun ada pula yang mendorong agar eksekusi tetap dilaksanakan.

Dalam posisi itu, saya mencoba bersikap objektif. Kapolres sebagai eksekutor telah menempuh jalan panjang, dan inilah konsekuensi hukum yang harus dijalankan, meski pahit untuk dirasakan.

Namun kita tidak boleh berhenti pada perdebatan semata. Peristiwa ini hendaknya menjadi pelajaran bersama. Kita harus jujur mengakui bahwa sering kali perhatian kita kurang di awal proses, lalu setelah eksekusi terjadi barulah muncul banyak pandangan. Semua masukan tentu patut didengar, sebab jika demi kebaikan, tidak ada yang sia-sia.

Di titik ini, saya ingin mengingatkan kita semua akan makna Tongkonan. Tongkonan bukan sekadar rumah, melainkan simbol identitas orang Toraja. Ia adalah pusat kehidupan sosial, budaya, dan spiritual; tempat tersimpan silsilah leluhur, benda pusaka, sekaligus ruang musyawarah dan pengikat persaudaraan. Maka, pembongkarannya tidak bisa dilihat hanya sebagai tindakan fisik, tetapi juga sebagai pukulan terhadap rasa dan jati diri.

Prinsip kita sebagai Sangtorayaan jelas, yakni kita tidak menghalangi eksekusi hukum, tetapi cara pelaksanaannya sebaiknya dilakukan dengan penuh penghormatan. Menggunakan eskavator seolah-olah tidak ada hari esok, memberi kesan bahwa ini adalah akhir dari segalanya. Padahal mungkin ada jalan lain yang lebih manusiawi dan damai, yang tetap menegakkan hukum tanpa harus melukai makna budaya kita.

Mari kita bersama-sama, mulai dari pemerintah, tokoh adat, dan masyarakat, menjadikan peristiwa ini sebagai cermin. Agar ke depan, hukum bisa berjalan beriringan dengan nilai-nilai adat, dan keadilan tidak meninggalkan luka, tetapi justru membawa kebijaksanaan bagi kita semua. (*)