INFOSULAWESI.com, MAROS -- Menurut Distributor 2 Minyak Goreng Maros, Jumadi bahwa Kebijakan DMO CPO dan Minyak Goreng pada penetapan DPO dan Intensif Tambahan Hak Eksport kepada Produsen CPO dan Minyak Goreng oleh Kementerian Perdagangan mensolimi hak masyarakat Sulawesi Salatan dan Sulawesi Barat memperoleh Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp15.500/ kg dan atau Rp14.000/ Liter di pasar.
Hal ini membuat stok kebutuhan minyak goreng curah dan kemasan jadi langkah dan distribusi pihak produsen minyak goreng curah regional dan kemasan jadi terbatas, ungkap Jumadi.
Jumadi juga menambahkan bahwa Kementrian Perdagangan di Jakarta tidak menetapkan SulSelBar sebagai daerah layak memperoleh Insentif Hak Ekspor bagi produsen minyak.
Hal ini membuat produsen minyak goreng ogah menjadikan wilayah ini sebagai pasar minyak menguntungkan, dibanding mereka mendistribusikan ke daerah-daerah yang ditetapkan memperoleh insentif hak ekspor minimal 1,30 persen hingga 1,80 persen.
Distributor 2, Maros, Jumadi mencurigai ada indikasi permainan penentu kebijakan dari Kementrian Perdagangan dengan produsen minyak kemasan premium yang selama ini terancam bangkrut, lantaran harga kemasan merek "Minyak Kita" yang hingga akhir November tahun lalu dengan harga jual HET Rp14.000/ liter, dibanding minyak kemasan premium yang harganya bercokol Rp17.000/ liter, ungkap putra kelahiran Maros ini.
Dalil aturan itu, lanjut Jum, membuat satu alasan bagi produsen minyak ogah menjadikan Sulawesi Selatan dan Sulawesi barat sebagai pasar distribusi, karena jika mereka lakukan sama sekali tidak memperoleh hak insentif eksport dari Kementrian.
Hal ini membuat perusahaan pelat merah yang aktif membantu distribusi minyak goreng curah maupun kemasan, merek minyak kita, seperti Bulog SulSelbar dan PT. Pusat Perdagangan Indonesia PPI Makassar, sebagai Distributor 1, sangat terbatas memperoleh kontrak kerjasama distribusi dari produsen minyak PT. Tanjung Sarana Lestari TSL Pasang Kayu Sulawesi Barat.
Kenyataan, PT. TSL sendiri lebih membuka kontrak Pesanan Order PO kepada daerah lain, misal Bulog Wilayah Sulawesi Tengah bahkan hingga NTT dan Jawa Timur.
"PT. TSL misalkan memberikan kontrak distribusi ke Bulog Sulteng 90 sampai 160 Ton perhari, sementara ke Bulog Sulsel sejak akhir November lalu hanya 27 ton perhari, mana cukup memenuhi kebutuhan masyarakat Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat", kata Jumadi.
Sebagai Distributor 2, sama halnya sejumlah rekannya di daerah lain, tentu tak bisa memperoleh minyak bila Bulog dan PPI tak dapat kuota cukup, "sejak awal bulan Januari hingga awal Februari pasokan minyak dari Bulog hanya 18 Ton untuk wilayah distribusi Pangkep, Maros, Makassar, Gowa.
Tentunya tidak cukup memenuhi kebutuhan, harganya juga terkadang bermain kadang normal satu hari besokny naik lagi", tambah Jumadi.
"Misalkan distributor 2 membeli DO dari Bulog Sulteng sebagai D1, meski banjir DO kuota disana, tidak bisa juga di lakukan, beli dari sana kita jadi temuan mall administrasi distribusi busa berakibat ijin distribusi bisa dicabut, meski harga HET berlaku di pasar" terang Jumadi.
Sementara itu, empat perusahaan pabrik kemasan yang terjalin kerja sama dengan PT. TSL berkedudukan di Makassar, dengan kapasitas produksi 48 Ribu liter sampai 60 Ribu liter perhari, justru lebih banyak di distribusikan ke daerah luar yang mendapat bonus insentif dari Kementrian, sementara warga Makassar sendiri, akibat aturan itu justru membuat kesulitan memperoleh minyak kemasan bermerek "Minyak Kita" itu.
Tidak bisa di pungkiri, hal ini banyak dimanfaatkan oleh pelaku Distributor Pemasok minyak nabati, memperjual belikan minyak curah atau kemasan yang seharusnya dikirim ke daerah-daerah yang memperoleh insentif malah dijual secara ilegal di wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi barat, hingga berpindah-pindah tangan.
Akibatnya harga dipasaran jelas tertulis Rp14 Ribu, namun kenyataan di pasar banyak ditemukan terjual ke masyarakat Rp16 ribu sampai Rp18 Ribu perliter.
"Itu akibat dari pelaku usaha jadi mafia minyak, seharusnya distribusi tujuan Papua misalkan, tapi kenyataannya sebagian nyangkut di Makassar atau daerah lainya", ungkap Jumadi.
Yang kasihan itu Bulog dan PPI sebagai distributor 1, dianggap tidak konsisten menjaga distribusi ke Distributor 2, padahal perusahaan ini sangat terbatas mendapat persetujuan mendapat kuota kontrak dari PT. TSL.
"Saya pastikan minyak yang dijual sampai Rp18 Ribu bukan dua perusahaan ini yang mendistribusi, tapi dugaan pelakunya oknum distributor 1 dari daerah lain yang mendapat kuota banyak karena daerah distribusi mereka memperoleh insentif hak eksport bagi produsen minyak", terang Jumadi.(Chairil Anwar/IS)