Logo

Mengenal ​Wisata Religi di Masjid Agung Keraton Buton Yang Fenomenal

Penampakan foto udara Masjid Agung Keraton Buton, Sulawesi Tenggara. (Foto: Istimewa)

INFOSULAWESI.com, BUTON -- Tahukah Anda tentang masjid fenomenal di kota Baubau, Pulau Buton Provinsi Sulawesi Tenggara? Jika belum, segera sambangi Masjid Agung Keraton Buton yang letaknya dekat dengan benteng keraton.

Tidak lengkap rasanya kalau tidak mengunjungi sebuah masjid yang begitu fenomenal dengan latar belakang sejarah dan mitosnya. Warga setempat menyebutnya masjid fenomenal tersebut dengan Masigi Ogena Wolio (Masjid Agung Wolio).

Sebenarnya nama asli masjid ini adalah Masjid Al-Muqarrabin Syafyi Shaful Mu'min. Lokasi masjid berada di Kota Baubau, Kecamatan Murhum, Kelurahan Melai.

Ketika kita mengunjungi masjid ini, hal pertama yang dijumpai adalah tiang bendera Kesultanan Buton. Semua pewaris sejarah di Buton mengakui, tiang bendera kayu yang berdiri kokoh itu sudah berusia sekitar empat abad.

Tidak jauh dari tiang bendera itu, terdapat sebuah papan yang memuat nama-nama semua penguasa Keraton Buton. Lengkap, beserta waktu saat mereka memerintah dari tahun 1938 sampai tahun 1960.

Mulai dari penguasa pertama yaitu Ratu Wa Kaa Kaa sampai Sultan Buton terakhir yang berkuasa. Dekat papan tersebut, terdapat sebuah bangunan empat lantai yang merupakan rumah adat Buton.

Konon pembangunannya tidak menggunakan satupun paku dari logam. Tetapi, semua paku dan pasak yang dipergunakan terbuat dari kayu seperti juga sebagian besar bahan pembuat rumah tersebut.

Sedikit lebih jauh, terdapat sebuah bukit kecil yang di atasnya tampak sebuah makam. Makan tersebut, adalah kuburan Sultan Buton pertama, Sultan Murhum.

Disebelah timur laut, terdapat Jangkar Raksasa dan Batu Popaua. Jangkar raksasa adalah milik kapal VOC yang karam ditahun 1592.

Menurut cerita, setelah menaklukkan kapal VOC, jangkar yang berukuran raksasa itu kemudian diangkut keatas Benteng Keraton. Sedangkan, Batu Popaua merupakan batu alam berlubang yang disakralkan.

Diatas batu inilah, setiap raja dan sultan dilantik, mereka akan memasukkan kaki kanan dan kirinya secara bergantian. Bersamaan dengan diputarnya payung kebesaran kerajaan diatas kepala Raja/Sultan ketika hendak mengucapkan sumpah.

Bagian lain dari benteng itu, juga terdapat sekelompok makam. Dari keterangan yang terpampang, disebutkan sebagai makam Sultan Alimuddin yang bergelar Oputa Mosambuna Yi Wandayilolo dan kerabatnya.

Sultan Alimudin memerintah Kesultanan Buton dari tahun 1788. Sampai, dengan tahun 1791 silam.

Sejarah Masjid Agung Keraton Buton

Berbagai peninggalan sejarah yang ada di masjid Agung Buton ini meruapakan cagar budaya yang bernilai. Cagar budaya itu dilestarikan sebagai aset bernilai strategis terkait pengembangan syiar Islam di Buton.

Keberadaan masjid tersebut sekaligus melambangkan kejayaan Islam pada masanya. Kemendikbudristek RI dalam situs resminya menerangkan, masjid ini dibangun sejak awal kedatangan Islam di Buton.

Kedatangan Islam di Buton sekitar abad ke-16 atau tahun 1527 M. Masjid Al-Muqarrabin Syafyi Shaful Mu'min dibangun pertama kali oleh Sultan Buton ke-3 bernama La Sangaji.

Hal itu mengartikan, bergelar Sultan Qaimuddin Khalifatul Khamis pada tahun 1538 M. Ketika itu, bangunan masjid masih merupakan bangunan yang sangat sederhana.

Bangunan masjid masih dibuat dengan dinding dan tiangnya terbuat dari kayu. Sementara atapnya dari alang-alang.

Pada tahun 1712, Sultan Saqiuddin Darul Alam merenovasi masjid tersebut dengan mengubah dindingnya menjadi dinding batu. Dinding itu juga dilekatkan dengan pasir dan kapur, serta atapnya diganti dengan atap dari daun nipah.

Renovasi terakhir, dilakukan Sultan Buton ke-37 yaitu La Ode Muhamad Hamidi Qaimuddin pada tahun 1929-1930. Pada atap masjid diganti dengan seng dan tangga, serta beberapa bagian di dalam masjid diperkuat dengan semen.

Sampai saat ini, masjid tersebut masih terlihat dalam kondisi yang cukup terawat dan masih dipergunakan. Bagi umat Islam yang tinggal di sana, Lubang Pusat Bumi Yang Mengeluarkan Suara Azan dari Makkah

Pada masa pemerintahan Sultan Mukhiruddin Abdul Majid, Sultan Buton ke-18, masjid tersebut sempat terbakar akibat perang saudara. Perang itu melibatkan kapitan laut (pemimpin pasukan pengawal kerajaan) bernama Langkariri (La Ngkariyri), berperang dengan pihak lainnya.

Karena hebatnya peperangan yang berkecamuk selama tiga bulan itu, sampai orang tidak mengenal waktu dan lupa hari. Dalam suasana kalut itu, seorang penyebar dan pemuka agama Islam di Keraton Wolio bernama Syarif Muhammad, mendengar azan.

Tepatnya, suara azan dari sebuah bukit kecil di keraton itu. Ia pun pergi ke bukit kecil itu.

Ternyata suara azan itu keluar melalui sebuah ‘lubang’ yang ada di bukit itu. Setelah mendengar suara azan, Syarif Muhammad mendengar lagi suara orang banyak seperti sedang melakukan shalat Jumat.

Dikatakannya tempat orang shalat itu adalah Makkah. Keberadaan lubang gua tersebut digunakan sebagai metoda dalam menentukan arah kiblat Masjid Agung Keraton Buton.

Kemudian, ia mengumumkan, kepada penduduk seluruh negeri bahwa hari itu adalah hari Jumat. Karena itu, semua orang berbondong-bondong melaksanakan shalat Jumat di atas bukit tadi.

Syarif Muhammad menyampaikan khutbah perdamaian bagi pihak-pihak yang bertikai. Sejak itu kehidupan berangsur normal dan perang pun usai.

Setelah peristiwa itu, penduduk menyebutnya lubang yang ada di bukit kecil itu sebagai Pusena Tanah atau ‘pusatnya tanah/bumi’. Lubang itu dinilai, berhubungan dengan tanah suci Makkah.

Sehingga menjadi tempat, untuk menentukan arah kiblat Masjid Agung Keraton Buton. Dalam versi lain, kisah perang disebutkan merupakan kudeta yang dilancarkan Langkariri untuk menggulingkan Sultan ke-18.

Sultan Ke-18 dinilai, kurang demokratis. Perlu diketahui bahwa pengangkatan Sultan Buton tidak berdasarkan keturunan.

Tidak ada istilah putra mahkota. Sultan Buton diangkat atau dipilih oleh siolimbona, semacam lembaga perwakilan rakyat (DPR).

Kemudian, atas saran seorang ulama dari Arab Saudi yaitu Syarif Muhammad atau Saidi Raba, Langkariri diangkat. Langkariri menaiki takhta sebagai Sultan Buton ke-19 dengan gelar Saqiuddin Darul Alam.

Dimasa Sultan ke-19 inilah Masjid Agung yang terbakar dibangun kembali. Sebab, Masjid Keraton Benteng Buton yang dibangun Sultan Qaimuddin Khalifatul Khamis, telah menjadi puing akibat perang.

Lokasinya bukan lagi di tempat lama yang disebut Kaliwu Liwuto, melainkan di atas pusena (lubang tanah tersebut). Pusena tanah tersebut berupa pintu gua di bawah tanah yang berada tepat di belakang mihrab.

Fakta atau Mitos Lubang Gua Mengeluarkan Suara Azan

Mengenai keberadaan lubang gua yang mengeluarkan suara azan dari Mekkah itu hingga saat ini masih dipertanyakan kebenarannya. Menurut informasi dari simas.kemenag.go.id, cerita tersebut tidaklah benar.

Imam Masjid Agung Wolio, La Ode Ikhwan meyatakan, lubang masjid itu sebenarnya dahulu adalah pintu gua rahasia. Gua itu sebagai fasilitas untuk menyelamatkan Sultan Buton jika diserang musuh.

Di dalam lubang gua tersebut terdapat lima jalan rahasia ke sejumlah tempat di kompleks benteng. Salah satu jalan rahasia itu ada yang tembus ke selatan benteng.

Ketika rehabilitasi pertama Masjid Agung Keraton Buton, pintu gua ditutup semen. Sehingga liangnya menjadi kecil atau sebesar bola kaki.

Agar tidak menimbulkan persepsi lain yang aneh-aneh dari masyarakat, lubang ditutup dan di atasnya dibuat tempat untuk imam. Selain itu juga diletakkan tiang.

Peletakan tiang di dalam masjid bukanlah dimaksudkan untuk dikeramatkan oleh umat Islam zaman lampau itu. Apalagi yang posisinya persis searah dengan kiblat bila mengerjakan shalat di masjid tersebut.

Liang itu sengaja ditempatkan dalam Masjid Agung agar terhindar dari kemungkinan pencemaran oleh manusia. Bagaimanapun kehadiran Masjid Agung Keraton di tempat itu bercikal bakal dari adanya liang atau pusena tanah tersebut.

Tatkala Masjid Agung itu dibangun oleh Sultan Sakiuddin Darul Alam pada tahun 1712. Lubang yang dimaksud adalah pintu gua di bawah tanah dengan ukuran kira-kira sebesar badan manusia.

Pintu gua tersebut tegak lurus menghadap ke atas. Konon dalamnya tidak dapat terduga.

Arsitektur Tua dan Filosofi Masigi Ogena

Masjid Agung Keraton Buton berdiri di atas fondasi berukuran 41x42 meter. Fondasi dengan konstruksi dari batu gunung itu tampak di atas sebuah bukit kecil.

Bangunan masjidnya berukuran 21x22 meter. Diperkirakan masjid kuno tersebut dapat memuat seribu orang jamaah.

Masjid ini berbentuk 4 persegi panjang berukuran 20,6x19,40m, dibangun dari dasar 24 pondasi. Material dinding bangunan dibuat dengan menggunakan batuan kapur dengan adukan bahan pasir dan kapur.

Atap Masjid Agung Wolio berjumlah dua lapis berbentuk limas, terbuat dari seng dengan kayu balok penyanggah. Jenis kayu yang digunakan adalah jati dan wola.

Masjid tua berusia ratusan tahun ini diklaim sebagai salah satu masjid tertua di Indonesia. Karena, memiliki jumlah tiang terbanyak di seluruh penjuru negeri.

Secara keseluruhan, tiangnya berjumlah 60 buah dengan rincian, 20 buah tiang berada di ruang utama. 20 tiang itu menjadi penyanggah lantai dua dan atap.

Kemudian, 10 tiang Soko Guru yang langsung ke limas dua. Selebihnya tiang yang berada pada sekeliling tembok yang tertanam dalam tembok dinding.

Tiang-tiang dan kerangka kayu yang digunakan adalak kulitas kelas satu. Kerangka kayu tersebut baru sebagian kecil mengalami penggantian sekitar 60 tahun silam.

Benda lain yang menarik adalah sebuah lampu antik terbuat dari perunggu bercabang tiga. Lampu ini tergantung di tengah ruang masjid.

Dari tiap cabang lampu tersebut tergantung pula masing-masing tiga mata lampu. Konon, lampu semacam ini hanya terdapat di Keraton Yogyakarta dan Istana Negara di Jakarta.

Masjid terdiri atas tiga lantai mengikuti struktur bangunan rumah pangung menjadi ciri khas rumah adat masyarakat Sulawesi Tenggara. Lantai pertama menggunakan semen dan dimarmer, lantai dua dan tiga terbuat dari kayu.

Seperti halnya benteng keraton, Masjid Agung ini juga memiliki 12 pintu masuk. Satu di antaranya merupakan pintu utama, berada pada bagian timur yang diapit dua buah buah jendela.

Sebanyak empat jendela di sebelah utara, empar jendela di sebelah selatan. Lalu, satu buah pintu di sebelah selatan mihrab.

Semua jendela dan pintu dicat dengan warna biru. Gode-gode (bahasa Walio artinya selasar) berada di bagian timur masjid digunakan sebagai tempat berkumpul para pengurus masjid.

Di atas bangunan lantai dua terdapat bangunan empat persegi berukuran lebih kecil yang merupakan puncak kerucut. Puncak kerucut itu berfungsi sebagai kubah Masjid Agung Buton.

Terdapat desain kubah seperti itu adalah disain umum untuk model masjid di Tanah Air. Masigi ogena dibagun di atas pondasi yang ditinggikan.

Adapun ukuran pondasi yang ditinggikan adalah sebelah timur 44,90 m. Dengan ketinggian 3,30 m pada sudut selatan dan 3,00 m pada sudut utara.

Pada, sebelah utara 41,15 m dengan ketinggian bagian tengah 150 cm dan sudut timur selatan 3,55 m. Sebelah barat 43,55 m dengan ketinggian sudut selatan barat 2,55 m.

Lalu, sebelah selatan dengan panjang 40,85 m dengan ketinggian pondasi bagian tengah 1.30 m. Hal menarik lainnya, tentang ‘perangkat syara’ (pegawai) masjid.

Hal ini termasuk yang memiliki jumlah besar dibanding masjid bersejarah lainnya di Indonesia. Semuanya berjumlah 60 orang.

Terdiri atas seorang cjadhi ‘hakim’, seorang imam, empat orang khatib, 12 orang muazin, dua orang tungguna ganda. Lalu, 40 orang jamaah tetap.

Semua anggota syara’ masjid diangkat oleh sultan dan harus orang bangsawan keraton. Disiplin mereka juga kuat, sebab kalau lalai sedikit saja dapat dipecat langsung oleh sultan.

Hukuman yang paling berat adalah hukuman tambahan berupa pemecatan dari kebangsawanan, lalu dibuang ke tempat lain. Tetapi, kini perangkat masjid syara’ itu tidak seutuh dan selengkap dulu lagi.

Cek berita dan artikel yang lain infosulawesi.com di Google News