Logo

INFO PLUZ: Analisa Berita Nasional, Senin, 30 Juni 2025

"Makin Tahu Indonesia"

EFR55

Simak berita dan artikel lainnya di: Google News infosulawesi.com

WA12
Ikuti info terbaru di: WhatsApp Channel Infosulawesi

 

Analisa Berita Nasional, Senin, 30 Juni 2025

Pembaca, INFO PLUZ Analisa edisi akhir Juni ini berisi review atas peristiwa bulan ini yang menjadi perhatian publik.

PROYEK KEJAR TAYANG KOPDES MERAH PUTIH

Tidak berapa lama lagi, atau tepatnya pada Hari Koperasi Nasional 12 Juli, Indonesia bakal punya 80.000 Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih. Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi pada rapat kabinet terbatas 23 Juni lalu mengabarkan, sebanyak 80.133 Kopdes sudah terbentuk, dan siap diluncurkan pada Hari Koperasi oleh Presiden Prabowo.

Niat membentuk Kopdes Merah Putih memang sudah digaungkan Prabowo di awal masa pemerintahannya, Oktober tahun lalu. Ini merupakan program prioritas sama seperti Makan Bergizi Gratis dan Danantara. Apapun rintangannya, harus diwujudkan. Maka tanggal 27 Maret 2025, Prabowo meneken Inpres No. 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih.

Inti dari Inpres itu adalah membentuk 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih di seluruh Indonesia, untuk memperkuat ketahanan pangan dan pemerataan ekonomi. Dalam Inpres tersebut diuraikan sejumlah hal antara lain tentang target, pelaksanaan, pendanaan, dan jenis usaha. Soal pendanaan, disebut Kopdes mendapat modal pinjaman dari Himbara (Himpunan Bank Milik Negara). Jenis usaha yang bisa digeluti disesuaikan dengan potensi desa masing-masing.

Mengenai nominal modal kerja Kopdes tidak disebut dalam Inpres itu. Kabar beredar menyebut modal Kopdes akan dicuilkan dari APBN dan APBD, serta pinjaman dari Himbara. Namun, Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (Zulhas), pada 23 Mei 2025 menegaskan bahwa tidak ada kucuran dana dari APBN, tapi pinjaman dari Himbara maksimal Rp 3 miliar. Plafon pinjaman sebesar itu bisa digunakan semuanya atau sebagian, dan harus dikembalikan dalam waktu 6 tahun.

Zulhas yang ditunjuk sebagai pemimpin Satgas Kopdes Merah Putih, menguraikan plafon pinjaman tersebut digunakan untuk mendanai 6 jenis usaha koperasi, antara lain: agen gas LPG, agen pupuk, agen sembako dari Bulog dan ID Food, serta layanan logistik pangan.

Berdasarkan penjelasan Zulhas tersebut, sudah bisa diterka akumulasi modal yang dibutuhkan untuk 80.000 Kopdes. Jika semua Kopdes menarik pinjaman maksimal sesuai plafon, maka dari Himbara perlu mengucurkan Rp 240 triliun. Jika semua Kopdes mengajukan pinjaman separuhnya saja, Bank Mandiri dkk perlu mengeluarkan Rp 120 triliun. Bukan angka kecil, tentunya.

Karena Inpres percepatan pembentukan Kopdes sudah diteken, para menteri terkait dan birokrat di bawahnya pun wajib mengejar target angka 80.000 itu. Hanya dalam waktu 3 bulan (April, Mei, Juni) pengurus dan badan hukum koperasi di setiap kelurahan/desa, sudah harus kelar. Maka, ketika Menkop Budi Arie pada 23 Juni lalu melaporkan sudah terbentuk 80.133 Kopdes, berarti proyek "kejar tayang" berhasil tercapai, bahkan melampaui target. Budi Arie boleh menepuk dada, tentu saja.

Bagaimana proyek ekspres itu dijalankan, bolehlah melihat pengalaman yang terjadi di sebuah kelurahan di Jakarta Barat. Pak Lurah mendapat perintah dari atasannya untuk membentuk pengurus Kopdes di kelurahannya. Perintah turun hari ini, dan besok pengurus sudah harus terbentuk. Maka Pak Lurah pun langsung mengirim undangan kepada pengurus RT, RW, dan LMK melalui WA, 4 jam sebelum rapat pembentukan pengurus digelar.

Rapat pembentukan pengurus inti Kopdes Kelurahan X itu pun kelar sekitar 2 jam. Ketua, wakil ketua, sekretaris, dan bendahara sudah terpilih secara aklamasi. Mereka adalah orang-orang yang bersedia menjadi pengurus. Tidak perlu ada proses pengenalan kapasitas dan kapabilitas dari setiap orang yang jadi pengurus. Yang penting mereka mau jadi pengurus, dan Pak Lurah pun selesai menjalankan perintah atasannya. Orang-orang yang bersedia jadi pengurus itulah yang akan dicantumkan dalam akta pendirian koperasi.

Proses pembentukan Kopdes di Kelurahan X tersebut tentulah tidak bisa digeneralisasi terjadi di semua kelurahan/desa di Indonesia. Mungkin di tempat lain prosesnya dilakukan dengan lebih cermat, melalui uji kapasitas calon pengurus, dan sebagainya.

Namun, mengingat Kopdes merupakan program dari atas yang wajib dijalankan di bawah, maka sulit dihindarkan pola instruktif lah yang dominan dilakukan oleh aparat pemerintah untuk mewujudkan program itu. Jadilah 80.000 Koperasi Desa Merah Putih yang akan diluncurkan berbeda sama sekali dengan jati diri "koperasi", yang merupakan unit usaha berdasarkan kepentingan bersama anggotanya, berasaskan sukarela dan kekeluargaan. (*)

PP JOKOWI DIBATALKAN MA: SAATNYA BERPIHAK PADA LINGKUNGAN

Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan uji materi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) No. 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Dalam putusan tersebut, MA menyatakan sejumlah pasal dalam PP bertentangan dengan UU No. 32/2014 tentang Kelautan. Putusan tersebut sekaligus menegaskan pemerintah tidak boleh melakukan ekspor pasir laut. MA juga memerintahkan Presiden selaku termohon untuk mencabut aturan tersebut.

Putusan MA No. 5/P/HUM/2025 itu cukup melegakan. Sejak keran ekspor pasir laut dibuka kembali – setelah dilarang sejak 20 tahun sebelumnya – banyak protes dilayangkan. Tak kurang dari mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengkritik kebijakan yang dikeluarkan 2 bulan sebelum Presiden Jokowi lengser itu.

Kecaman terutama karena kegiatan yang disebut “pengelolaan sedimentasi” itu, sama saja dengan penambangan pasir laut yang merusak ekosistem laut dan pesisir. Bahkan, menghilangkan pulau-pulau kecil. Walhi mencatat, sudah 26 pulau – di Kepulauan Riau, Bangka Belitung, hingga Jakarta – hilang akibat penambangan pasir laut.

Tapi, pemerintah berkukuh bahwa pengelolaan sedimentasi di laut baik bagi kesehatan ekosistem di laut dan pesisir. Pemerintah juga mengeklaim kegiatan itu menghasilkan nilai ekonomi yang besar dan berkontribusi terhadap perekonomian nasional. Jokowi sendiri menjelaskan, izin ekspor yang dibuka itu untuk hasil sedimentasi laut, bukan pasir laut.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, tak sepakat dengan alasan kegiatan itu menghasilkan nilai ekonomi yang besar dan menyumbang perekonomian nasional. Menurut Celios, meski menyumbang ekonomi namun hasilnya tak sebanding dengan dampaknya.

Dalam pemodelan yang dibikinnya, Celios memperkirakan output ekonomi mengalami penurunan hingga Rp 1,13 triliun dan penurunan PDB hingga Rp 1,22 triliun. Selain itu, masyarakat mengalami penurunan pendapatan hingga Rp 1,21 triliun. Sementara asumsi penambangan pasir laut akan memicu elastisitas ekspor pasir laut terhadap produksi perikanan tangkap dengan perkiraan minus 0,02%.

Di sisi lain, jika menghitung dampak tidak langsung ke sektor lapangan usaha secara keseluruhan, pendapatan negara diperkirakan hanya bertambah sekitar Rp 170 miliar. Meskipun eksportir pasir laut bisa mendapat keuntungan sebesar Rp 502 miliar, namun itu menimbulkan kerugian bagi pengusaha di bidang perikanan. Produksi perikanan berpotensi turun hingga Rp 1,8 triliun imbas penambangan pasir laut.

Akibat ekspor pasir laut sebesar 2,7 juta meter persegi, ada penurunan nilai tambah bruto sektor perikanan yang ditaksir mencapai Rp 1,59 triliun. Bila ditaksir, pendapatan nelayan yang hilang Rp 990 miliar, dan berkurangnya lapangan pekerjaan di sektor perikanan sebesar 36.400 orang.

Jadi, narasi penambangan pasir laut akan mendorong ekspor dan penerimaan negara secara signifikan hanya “omon-omon”. Penerimaan negara dari pajak tidak mampu menutup kerugian seluruh output ekonomi yang menurut perkiraan Celios turun Rp 1,13 triliun.

Kebijakan penambangan dan ekspor pasir laut hanya satu dari sekian banyak kebijakan yang merugikan. Masih banyak kebijakan yang alih-alih membawa kesejahteraan, melainkan justru penderitaan bagi masyarakat. Salah satu yang mengemuka saat ini adalah hilirisasi, terutama nikel.

Meski banyak kritik, pemerintah tetap kukuh mempertahankan program utama pemerintahan Jokowi yang dilanjutkan Prabowo ini. Narasi bahwa program ini meningkatkan nilai tambah hingga 300% selalu digaungkan. Tapi, apakah faktanya demikian?

Studi LPEM UI menunjukkan, sekitar 90% penciptaan nilai tambah nikel tidak terdistribusi kepada rakyat Indonesia, karena banyak perusahaan tambang dan industri nikel tidak dimiliki secara domestik. Sementara kerusakan lingkungan justru dirasakan masyarakat lokal.

Penambangan nikel telah menyebabkan pembukaan 76.031 hektare hutan, dengan 68% konsesi tumpang tindih dengan hutan. Studi dari University of Maryland (UMD) memperkirakan 153.364 hektare hutan hilang dalam kurun 2001-2022. Laporan tersebut menyebut Indonesia menyumbang 26,4% dari deforestasi terkait pertambangan global.

Putusan MA tersebut seharusnya sebagai peringatan bahwa sudah saatnya Indonesia lebih serius melaksanakan pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan. (*)

"Makin Tahu Indonesia"

EFR55

Simak berita dan artikel lainnya di: Google News infosulawesi.com

WA12
Ikuti info terbaru di: WhatsApp Channel Infosulawesi