BALI – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana menerbitkan surat edaran (SE) baru pada tahun 2025 untuk memperbaiki proses bisnis asuransi kesehatan. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan efisiensi ekosistem asuransi kesehatan di Indonesia.
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, menjelaskan bahwa pihaknya telah bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) untuk merumuskan kebijakan terkait. Salah satu fokus utama adalah mengintegrasikan Coordination of Benefit (CoB) atau koordinasi manfaat antara BPJS Kesehatan dan asuransi tambahan.
“Jadi tetap tahap pertama [manfaat asuransi kesehatan] di BPJS, kemudian baru ke asuransi kesehatan tambahan. Itu sudah berjalan,” ujar Ogi di Padma Hotel Legian, Rabu (20/11/2024).
Surat edaran tersebut juga akan mengatur standar dan batasan manfaat asuransi yang dapat diklaim. Menurut Ogi, diperlukan keberadaan advisory board untuk mengawasi pelaksanaannya. “Jadi yang ini mana yang boleh, mana yang tidak boleh, jadi ada standar biayanya itu ada,” ucap Ogi.
Selain itu, OJK menekankan pentingnya penyesuaian antara klaim dan premi. Saat ini, rasio klaim pada asuransi kesehatan di Indonesia masih tinggi, bahkan belum mencakup biaya operasional lainnya.
“Belum termasuk biaya combine ratio dan sebagainya, belum termasuk biaya lainnya, baru perbandingan antara klaim dengan premi yang diterima saja sudah tinggi. Dia kan biaya operasional. Itu PR kita,” pungkasnya.
Diketahui, inflasi medis terus melejit pasca-pandemi Covid-19, dengan kenaikan 18% hingga 20%. Bahkan, perusahaan asuransi jiwa kini terpaksa ‘menombok’ pembayaran klaim asuransi kesehatan karena kenaikan inflasi medis membawa defisit rasio antara klaim dengan premi terkumpul.
Perusahaan asuransi jiwa telah membayarkan klaim kesehatan sebesar Rp11,83 triliun per semester I-2024. Ketua Bidang Literasi & Perlindungan Konsumen Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Freddy Thamrin mengatakan rasio klaim asuransi kesehatan sudah lebih besar dari premi yang diterima. Nilainya mencapai lebih dari 100%, tepatnya 105,7%.
Dengan kata lain, perusahaan asuransi lebih banyak mengeluarkan uang untuk membayar klaim kesehatan nasabahnya, dibanding dengan menerima uang pembayaran premi asuransi dari pemegang polis.