Logo

EBT, Tulang Punggung Transisi Hijau Indonesia dan Perekonomian Bangsa

Pembangkit listrik tenaga surya terapung Cirata. FOTO: Istimewa

MATAHARI, air, angin, dan panas bumi tidak lagi sekadar unsur alam. Di tangan kemajuan teknologi, mereka telah berubah menjadi "emas hijau" baru yang menggerakkan roda perekonomian dan menjadi kunci masa depan energi Indonesia. Energi Baru Terbarukan (EBT) kini berada di garis depan strategi nasional, bukan hanya untuk memenuhi target iklim global, tetapi lebih dari itu, untuk menciptakan ketahanan energi, kemandirian ekonomi, dan lapangan kerja yang berkelanjutan. 

Indonesia, dengan lokasi geografisnya yang strategis, dikaruniai potensi EBT yang sangat melimpah. Namun, perjalanan menuju optimalisasi pemanfaatan EBT masih menghadapi beragam tantangan. Hingga semester I 2025, realisasi bauran EBT baru mencapai 14,5% dari target 23% yang ditetapkan untuk tahun tersebut . Angka ini menunjukkan bahwa meski progres terus terjadi, masih dibutuhkan akselerasi yang signifikan untuk mencapai target yang telah ditetapkan. 

"Kita sedang berlomba dengan waktu. EBT bukan lagi pilihan, tapi sebuah keharusan. Selain untuk mengamankan pasokan energi dalam negeri, transisi ini adalah peluang emas untuk membangun industri hilir yang berdaya saing global, dimulai dari industri baterai hingga kendaraan listrik," papar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif, dalam pernyataan resminya. 

Peta dan Realita Capaian EBT Indonesia Saat ini 

Komitmen Indonesia terhadap transisi energi hijau telah dituangkan dalam beragam regulasi dan kebijakan. Pemerintah melalui Perpres Nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional telah mencanangkan peran panas bumi sebesar 6,3% dalam komposisi bauran energi nasional pada tahun 2025 . Optimisme tersebut kembali ditegaskan oleh Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Rida Mulyana, yang menyatakan keyakinannya bahwa target bauran EBT 23% pada 2025 dapat tercapai . 

Namun, data terkini menunjukkan bahwa realisasi di lapangan masih tertinggal dari harapan. Hingga pertengahan 2025, kapasitas pembangkit EBT Indonesia baru mencapai 15,2 gigawatt (GW) dengan realisasi bauran EBT hanya 14,5% . Meski mengalami kenaikan 0,6% dibandingkan tahun sebelumnya, angka ini masih jauh dari target 23% yang ingin dicapai dalam waktu dekat . 

Proyek Strategis Nasional: Bukti Nyata Akselerasi EBT Indonesia 

PLTS Terapung Cirata: Mercusuar Energi Surya Indonesia

Di antara berbagai proyek EBT di Indonesia, PLTS Terapung Cirata layak disebut sebagai salah satu pencapaian paling membanggakan. Diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada November 2023, proyek dengan kapasitas 192 MWp ini bukan hanya yang terbesar di Asia Tenggara, tetapi juga menempati peringkat ketiga terbesar di dunia . 

Dibangun di atas waduk seluas 200 hektar, PLTS Terapung Cirata merupakan hasil kolaborasi strategis antara pemerintah Indonesia dengan Masdar, perusahaan energi terbarukan asal Uni Emirat Arab . Keunggulan proyek ini tidak hanya terletak pada skalanya, tetapi juga pada manfaat lingkungan yang dihasilkan. PLTS Cirata diproyeksikan dapat mengurangi 214.000 ton CO₂ setiap tahunnya sekaligus menghasilkan 245 GWh energi hijau annually . 

Yang lebih mengesankan, dalam operasionalnya selama satu tahun pertama, proyek ini telah menghasilkan 267 GWh listrik hijau untuk sistem Jawa-Madura-Bali (JAMALI), melampaui ekspektasi awal . Keberhasilan Cirata menjadi bukti nyata bahwa Indonesia memiliki kemampuan untuk mengelola proyek EBT berteknologi tinggi dengan standar internasional. 

PLTP Lahendong: Ketangguhan Panas Bumi Nusantara

Di sisi lain, PLTP Lahendong di Sulawesi Utara menunjukkan ketangguhan energi panas bumi Indonesia. Sejak mulai beroperasi pada 21 Agustus 2001, PLTP Lahendong telah berkembang menjadi salah satu tulang punggung kelistrikan regional dengan kapasitas terpasang 80 MW . 

Kontribusi PLTP Lahendong terhadap sistem kelistrikan Sulawesi Utara sangat signifikan. Pada tahun 2020 saja, pembangkit ini memproduksi 515 GWh listrik, setara dengan kebutuhan 61.500 rumah dengan daya 1.300 VA . Bahkan, pada periode Januari-Agustus 2021, PLTP Lahendong telah menyuplai 340 GWh energi listrik . 

Yang membedakan PLTP Lahendong adalah efisiensi operasionalnya. Dengan biaya pokok produksi (BPP) hanya Rp 1.227 per kWh, PLTP Lahendong menjadi salah satu PLTP termurah di dunia . Keunggulan kompetitif ini tidak hanya menguntungkan dari sisi ekonomi, tetapi juga dari aspek lingkungan dengan emisi karbon hanya 75 gram per kWh, jauh lebih rendah daripada pembangkit fosil . 

Transformasi Ekonomi Melalui Hilirisasi Energi Hijau 

Industri Baterai Kendaraan Listrik: Mencetak Raja Baterai Global

Transisi energi Indonesia tidak hanya tentang pembangkit listrik, tetapi juga tentang membangun ekosistem ekonomi hijau yang berkelanjutan. Cita-cita Indonesia menjadi "raja baterai" kendaraan listrik global mulai menemukan bentuk nyata dengan berkembangnya industri baterai EV di dalam negeri. 

Di Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah, setidaknya empat pabrik katoda baterai EV sedang dikembangkan dengan total kapasitas produksi mencapai 240.000 metrik ton nikel kobalt dan nikel sulfida . Dua di antaranya, yaitu PT Huayue Nickel Cobalt dan PT QMB New Energy Materials, telah beroperasi dengan kapasitas gabungan 120.000 metrik ton nikel-kobalt-mangan . 

Sementara itu, di Weda Bay, Halmahera Utara, raksasa nikel asal China, Tsingshan Holding Group Co., melalui unit bisnisnya REPT BATTERO Energy Co., berencana membangun pabrik baterai yang ditargetkan mulai beroperasi pada 2025 . Pembangunan pabrik ini bertujuan untuk memanfaatkan keunggulan akses bahan baku dan infrastruktur yang disediakan oleh Tsingshan Group, sekaligus meminimalkan risiko konflik perdagangan internasional . 

Investasi senilai US$3 miliar untuk klaster katoda baterai di Morowali  tidak hanya menciptakan lapangan kerja bagi 5.000 orang , tetapi juga menandai transformasi struktural ekonomi Indonesia dari pengekspor bahan mentah menjadi produsen produk bernilai tambah tinggi. 

Dampak Positif Multi-Sektor: Melampaui Sekadar "Hijau" Adopsi EBT membawa dampak berantai positif yang jauh melampaui sekadar mengurangi emisi karbon. 

Dampak bagi Ekonomi, yaitu Penghematan Devisa: Setiap peningkatan 1% dalam pemanfaatan EBT dapat mengurangi impor BBM dan LNG, menghemat miliaran dolar AS devisa negara setiap tahunnya. Pengoperasian PLTP Lahendong IV saja memberikan penghematan biaya bahan bakar sekitar Rp 840 miliar per tahun . 

Penciptaan Green Jobs: Industri EBT menciptakan lapangan kerja yang luas dan berkualitas, mulai dari riset dan pengembangan, manufaktur panel surya dan turbin angin, instalasi, operasi dan pemeliharaan, hingga tenaga teknis di sektor panas bumi dan bioenergi. 

Penguatan Industri Hilir: Hilirisasi nikel untuk baterai kendaraan listrik adalah contoh nyata. Indonesia beralih dari pengekspor bahan mentah menjadi produsen produk bernilai tambah tinggi, menarik investasi besar-besaran dan menciptakan pusat industri baru. 

Dampak bagi Lingkungan adalah, Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca: Sebagai komitmen dalam Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia bertekad mengurangi emisi dengan EBT sebagai ujung tombaknya. PLTP Lahendong terbukti dapat mereduksi 84.960 ton CO₂ pada tahun 2010 saja .

Kualitas Udara dan Kesehatan yang Lebih Baik: Pengurangan penggunaan bahan bakar fosil berdampak langsung pada membaiknya kualitas udara, khususnya di daerah perkotaan, yang pada gilirannya menurunkan angka penyakit pernapasan dan beban biaya kesehatan. 

Dampak Sosialnya adalah, Energi Merata hingga ke Daerah Terpencil: Teknologi PLTS off-grid (sistem mandiri) dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) menjadi solusi untuk menerangi desa-desa terpencil dan terluar. Keberhasilan PLTS Miangas (85 kWp) dan PLTS Bunaken (335 kWp) di Sulawesi Utara membuktikan komitmen pemerintah dalam menyediakan akses energi hingga ke daerah terluar . 

Kemandirian Energi Komunitas: Dengan PLTS Atap, rumah tangga dan bisnis tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga bisa menjadi produsen energi (prosumer), mengurangi ketergantungan pada jaringan utama dan menciptakan ketahanan energi di level komunitas. 

Tantangan dan Jalan Ke Depan: Kolaborasi untuk Akselerasi

Meski manfaatnya jelas, transisi EBT masih menghadapi sejumlah tantangan. "Biaya investasi awal yang tinggi, kebutuhan penguatan infrastruktur jaringan listrik, dan regulasi yang perlu terus diselaraskan adalah hambatan yang harus kita atasi bersama," jelas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR). 

Tantangan lain yang tidak kalah pentingnya adalah kesenjangan akses energi. Sebagaimana diungkapkan oleh Feiral Rizky Batubara, pemerhati kebijakan publik dan praktisi ketahanan energi, konsumsi energi per kapita Indonesia masih berada di kisaran 1,2-1,4 toe per tahun, jauh di bawah Malaysia (3,5-4 toe), Thailand (2,5 toe), bahkan Vietnam (2 toe) . Rendahnya energi per kapita ini berbanding lurus dengan PDB per kapita Indonesia yang masih berkisar USD 5.500, dibandingkan Malaysia yang telah mencapai di atas USD 12.000 . 

Untuk mempercepat adopsi EBT, pemerintah didorong untuk memberikan insentif fiskal yang lebih menarik, mempermudah proses perizinan, dan terus mendorong inovasi dalam teknologi energi bersih, termasuk pengembangan energy storage (penyimpanan energi) seperti baterai skala besar. Selain itu, pemberdayaan masyarakat desa melalui koperasi energi dapat menjadi instrumen strategis agar desa tidak hanya menjadi pengguna, tetapi juga pemilik dan pengelola energi . 

Untuk Menuju Indonesia Emas 2045 dengan Energi Bersih

Energi Baru Terbarukan telah menempati posisi sentral dalam peta jalan pembangunan Indonesia. Dampaknya tidak lagi sekadar wacana lingkungan, tetapi telah menjadi pendorong nyata pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

 Keberhasilan PLTS Terapung Cirata dan PLTP Lahendong menjadi bukti nyata bahwa Indonesia memiliki kapabilitas untuk mengelola proyek EBT berkelas dunia. Sementara, berkembangnya industri baterai kendaraan listrik di Morowali dan Weda Bay menunjukkan bahwa transisi energi tidak hanya tentang menyediakan energi yang lebih bersih, tetapi juga tentang mentransformasi struktur ekonomi Indonesia menuju ekonomi bernilai tambah tinggi. 

Dengan komitmen kuat dan eksekusi yang konsisten, Indonesia tidak hanya akan memenuhi target energi bersihnya, tetapi juga akan memposisikan diri sebagai pemain kunci dalam ekonomi hijau global di masa depan. Transisi energi ini adalah investasi untuk Indonesia yang lebih kuat, bersih, dan berdaulat menuju Indonesia Emas 2045. 

DATA CAPAIAN EBT INDONESIA

Indikator Data Sumber

Target Bauran EBT 2025                                                                        23%    

Realisasi Bauran EBT Semester I 2025                                         14,5% 

Kapasitas Pembangkit EBT Semester I 2025                             15,2 GW        

Kontribusi PLTP Lahendong ke Sistem Sulutgo (2020)        21%    

Kapasitas PLTS Terapung Cirata                                                         192 MWp       

Produksi Energi PLTS Cirata (1 Tahun)                                           267 GWh       

Emisi CO₂ yang Dihindari PLTS Cirata Tahunan                        214.000 ton    

Biaya Pokok Produksi PLTP Lahendong                                        Rp 1.227/kWh 

"EBT bukan lagi pilihan, tapi sebuah keharusan. Transisi ini adalah peluang emas untuk membangun industri hilir yang berdaya saing global." - Arifin Tasrif, Menteri ESDM. 

"Hal ini sudah menjadi komitmen bangsa, sudah menjadi amanah regulasi dan target nasional. Pemerintah optimis kita berupaya untuk mencapainya sebaik mungkin." - Rida Mulyana, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM . 

"Energi yang cukup dan merata akan menjadikan desa pusat pertumbuhan baru, menahan urbanisasi tak terkendali, dan memperkokoh kedaulatan bangsa." - Feiral Rizky Batubara, Pemerhati Kebijakan Publik dan Praktisi Ketahanan Energi . (tsm/***)