Logo

Reformasi KUHAP Tidak Boleh Setengah, Kewenangan Harus Tegas, Aparat Harus Selaras

Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Irjen Pol (P) Drs Frederik Kalalembang.

Oleh: Irjen Pol (P) Drs. Frederik Kalalembang

REFORMASI hukum pidana nasional akhirnya memasuki babak penentu dengan disahkannya KUHAP baru oleh DPR RI dan Pemerintah pada 18 November 2025. Regulasi ini akan berlaku efektif bersamaan dengan KUHP baru pada 2 Januari 2026. Setelah lebih dari empat puluh tahun, Indonesia memperbarui aturan formal yang menjadi fondasi seluruh proses peradilan pidana.

Revisi KUHAP ini tidak hanya dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan KUHP baru, tetapi juga karena KUHAP lama sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan hukum, kebutuhan masyarakat modern, serta tuntutan perlindungan hak asasi manusia.

Pemerintah menegaskan bahwa KUHAP baru disusun untuk memperbaiki banyak ketidaksempurnaan lama, mulai dari perlindungan hak tersangka dan korban, keseimbangan proses yang lebih adil, hingga pencegahan penyalahgunaan wewenang aparat.

KUHAP baru juga bertujuan menyederhanakan proses hukum agar lebih cepat, mudah, dan efisien bagi pencari keadilan. Bila dilaksanakan konsisten, regulasi ini dapat menjadi tonggak menuju sistem peradilan pidana yang lebih manusiawi, beradab, dan modern.

Namun, keberhasilan regulasi baru tidak cukup hanya pada keluhuran niat pembentuk undang-undang. Yang jauh lebih penting adalah kepastian implementasi. Publik membutuhkan jawaban sederhana, siapa yang berwenang menangkap, siapa yang berwenang menyidik, dan aturan mana yang harus dipakai ketika terjadi tindak pidana.

Tanpa kepastian ini, hukum justru menimbulkan kebingungan, tumpang tindih kewenangan, dan bahkan perebutan peran yang menggerus wibawa negara.

Dalam konteks tersebut, posisi Polri dan TNI Angkatan Laut sebagai aparat yang sering bersinggungan dalam penegakan hukum di laut harus ditempatkan dengan benar. Secara normatif, KUHAP, baik versi lama maupun yang baru, menetapkan Polri sebagai pemegang mandat penyidikan tindak pidana umum.

KUHAP hanya mengenal tiga kategori penyidik, yakni penyidik Polri, PPNS, dan penyidik tertentu yang diberi kewenangan oleh undang-undang khusus. Ini bukan sekadar pengaturan teknis, tetapi amanat konstitusi dan kehendak legislasi.

TNI Angkatan Laut memiliki kewenangan penyidikan yang khusus dan terbatas, bukan kewenangan umum. Pasal 9 huruf b UU No. 34 Tahun 2004 menugaskan TNI AL menegakkan hukum dan menjaga keamanan di laut yurisdiksi nasional. Kewenangan ini kemudian dipertegas secara spesifik dalam UU Perikanan, yaitu penyidikan tindak pidana perikanan. Artinya, TNI AL berwenang menindak pelanggaran perikanan di ZEE atau perairan Indonesia, bukan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana umum lainnya.

Namun, dalam praktik, sering muncul kasus di mana TNI AL menangani perkara yang tidak berada dalam kewenangannya. Misalnya dugaan tindak pidana pertambangan, pengangkutan komoditas seperti nikel, atau pelanggaran non-perikanan lainnya.

Penegakan seperti itu tidak hanya keluar dari mandat hukum, tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius di masyarakat, apakah Polri dianggap tidak mampu? Mengapa ada lembaga yang masuk ke ranah penyidikan yang secara tegas menjadi kewenangan Polri?

Situasi ini, bila dibiarkan, dapat mencederai wibawa Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang, karena KUHAP baru merupakan produk legislasi yang wajib dihormati oleh seluruh institusi, tanpa kecuali.

KUHAP mengatur dengan jelas bahwa jika terjadi “tertangkap tangan”, pelaku dan barang bukti harus segera diserahkan kepada penyidik Polri atau PPNS terdekat, bukan dibawa ke pangkalan militer atau diproses di luar jalur yang diatur undang-undang.

Dalam pembahasan RKUHAP, isu mengenai kemungkinan perluasan kewenangan TNI sempat memicu kekhawatiran publik. Ada potensi salah tafsir seolah semua matra TNI dapat menjadi penyidik pidana umum.

DPR kemudian memperbaiki draf tersebut dan menegaskan bahwa posisi “penyidik tertentu” tetap merujuk pada lex specialis, tidak boleh melampaui batas kewenangan sektoral yang ditetapkan undang-undang.

Namun penyempurnaan norma tidak otomatis menyelesaikan persoalan implementasi. Tanpa sosialisasi yang kuat, tanpa garis komando yang jelas, dan tanpa penegasan pemerintah pusat, maka tafsir yang keliru tetap akan muncul, dan tumpang tindih kewenangan tetap berpotensi terjadi.

Perlu Mengundang Kapolri

Karena itu, menurut hemat saya, Komisi III DPR RI perlu mengundang Kapolri Jenderal Polisi Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si. untuk menjelaskan kesiapan Polri dalam melaksanakan KUHAP baru.

Termasuk menyampaikan ke Kapolri sejauh mana kemampuan selama ini terhadap penetiban kapal yang membawa Ore. Selain itu bagaimana Komisi III DPR RI mendorong Polri dan menjaga marwah Komisi III serta pemerintah dalam penerapan KUHAP. Sehingga tidak ada tumpang tindih kewenangan.

Ini penting agar publik tidak menilai seolah-olah Polri diam, tidak mampu, atau bahkan tidak diberi ruang menjalankan kewenangannya sebagaimana diperintahkan undang-undang.

Hal ini secara politik mendorong Polri menjalankan amanat KUHAP baru dengan tegak lurus sesuai harapan masyarakat. Sebaliknya, TNI AL harus kembali pada aturan main yang sudah digariskan UU 34/2004 dan UU Perikanan, bukan melampaui batas kewenangan dengan memeriksa, menangkap, atau membawa ke pangkalan perkara yang berada di luar ranahnya.

Pada akhirnya, KUHAP baru membawa harapan besar. Tetapi harapan itu hanya akan menjadi kenyataan jika seluruh institusi negara berjalan dalam satu garis lurus, menghormati batas kewenangan, dan melaksanakan undang-undang secara konsekuen.

Menegakkan KUHAP berarti memperkuat kepastian hukum, menjaga kehormatan negara, dan memastikan bahwa reformasi hukum pidana benar-benar memberikan rasa aman bagi seluruh rakyat Indonesia. (*)