KADANG, kita terlalu cepat mengambil keputusan atas kritikan yang tertuju kepada kita. Kita bereaksi spontan, seolah setiap kritik adalah serangan pribadi yang harus segera ditangkis, bukan pelajaran berharga yang patut direnungkan.
Dalam defensif yang instan itu, kita menutup pintu belajar, enggan berkaca, dan menghindari evaluasi diri yang jujur.
Memang, ada sebagian kecil orang yang mampu menjadikan kritik sebagai energi perubahan. Namun, kebanyakan dari kita justru mengedepankan ego dan amarah. Hati kita menolak, pikiran kita memberontak, seakan-akan mengakui kekurangan adalah sebuah kehinaan.
Padahal, justru di sanalah letak kebesaran jiwa seseorang—pada kerendahan hati untuk melihat diri sendiri apa adanya, tanpa topeng pembenaran.
Kritik itu sejatinya baik. Ia adalah nasihat yang dibungkus dengan cara yang terkadang tidak kita sukai, tetapi sering kali sangat kita butuhkan. Kritik adalah cermin: kejernihan atau keburamannya sangat bergantung pada sudut pandang dan kesiapan hati kita.
Bila kita mau menundukkan ego, membuka ruang bagi kejujuran, maka kritik itu akan berubah menjadi pintu menuju perubahan yang lebih baik.
Pada akhirnya, hidup bukan perlombaan untuk selalu tampak benar, melainkan perjalanan tentang keberanian untuk terus memperbaiki diri. Maka, ketika kritik datang, tahanlah reaksi pertama untuk marah atau tersinggung.
Dengarkan dengan saksama, cerna dengan pikiran terbuka, petik hikmah yang bermanfaat, dan lepaskan yang tidak membangun.
Dengan begitu, kita sedang menapaki jalan kedewasaan—jalan yang mengubah luka menjadi pelajaran, dan guratan kritik menjadi peta menuju versi diri yang lebih utuh. Sebab, tumbuh itu artinya mampu mendengar apa yang perlu, bukan hanya apa yang ingin kita dengar.

