Logo

Tongkonan Ka’pun dan Luka di Hati Toraja

Oleh: Toto Sudarmongi ( Pemerhati Sosial dan Budaya )

Pada sebuah pagi di Kecamatan Kurra, Tana Toraja, dentuman mesin berat mengoyak kesunyian dan keseimbangan kosmis. Tanggal 5 Desember 2025, sebuah peristiwa pilu tercatat dalam ingatan kolektif masyarakat adat Toraja: eksekusi Tongkonan Ka’pun.

Bangunan megah itu, dengan atapnya yang melengkung bak perahu leluhur menuju alam keabadian, tidak sekadar roboh. Ia runtuh membawa serta lebih dari sekadar papan, kayu, dan ukiran. Yang turut hancur adalah sebuah ikon identitas, sebuah pusat gravitasi sosial-spiritual yang telah menjadi napas bagi generasi.

Tongkonan bukan rumah biasa. Ia adalah pusat legitimasi kekerabatan, tempat silsilah dirawat, hak adat diwariskan, dan ikatan keluarga ditenun kuat. Ia adalah ruang ritual sakral, portal yang menghubungkan dunia fana dengan Puya (alam arwah), tempat dialog dengan leluhur tak terputuskan. Setiap pilar, setiap ukiran, menyimpan cerita, doa, dan sejarah.

Maka, merobohkan Tongkonan bukanlah tindakan pembongkaran fisik belaka. Itu adalah pencabutan paksa memori komunal sebuah keluarga besar dari akar sejarahnya. Itu adalah pemutusan mata rantai yang menghubungkan masa lalu, kini, dan masa depan. Bagai menghapus sebuah kitab suci yang hidup, di mana hukum, nilai, dan jiwa masyarakat Toraja tertulis.

Peristiwa di Kurra ini meninggalkan duka yang mendalam dan mendasar. Luka itu bukan hanya atas hilangnya sebuah bangunan fisik, tetapi atas terampasnya sebuah ruang hidup yang bermakna, sebuah altar bagi keberlanjutan budaya dan spiritualitas. Runtuhnya Tongkonan Ka’pun mengingatkan kita semua: pelestarian warisan budaya bukan tentang melindungi benda mati, melainkan tentang menghormati denyut nadi kehidupan, identitas, dan ingatan sebuah bangsa yang hidup di dalamnya.