Logo

Reformasi Polri Mendesak, Dari SPKT hingga Mabes, Pelayanan Publik Harus Diperbaiki dan Ditingkatkan dengan Pengawasan Berjenjang

Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Irjen Pol (P) Drs Frederik Kalalembang

JAKARTA — Gelombang kritik terhadap Polri saat ini terus menguat. Peristiwa-peristiwa viral, unjuk rasa yang menuntut reformasi, hingga desakan mundur Kapolri menunjukkan menurunnya kepercayaan publik. Fenomena “no viral, no justice” menggambarkan bahwa masyarakat baru merasa didengar jika kasusnya sudah ramai di media sosial. Kondisi ini, menurut Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Irjen Pol (Purn) Drs. Frederik Kalalembang, hanya bisa diatasi melalui reformasi menyeluruh di tubuh Polri.

Purnawirawan Polri lulusan Akpol 1988 ini menegaskan, pembenahan bukan sekadar bongkar pasang Kapolri, melainkan perbaikan pelayanan publik yang menyentuh akar masalah. “Banyak hal sebenarnya sudah ada aturannya, tetapi pengawasan berjenjang tidak berjalan. Inilah yang membuat masyarakat kecewa,” kata Frederik, yang 35 tahun mengabdi di kepolisian sebelum duduk di DPR.

SPKT: Wajah Pertama Polri yang Menentukan

Semua laporan masyarakat berawal dari Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT). Di sinilah wajah pertama Polri dilihat publik. Masyarakat datang membawa berbagai persoalan, baik pidana, perdata, hingga masalah rumah tangga, karena mereka masih percaya Polri bisa memberi solusi. Frederik menegaskan, SPKT seharusnya menempatkan personel yang profesional dan humanis, melayani dengan ramah layaknya perbankan.

Fakta di lapangan sering berbeda. Banyak pelapor dibiarkan menunggu tanpa penjelasan, bahkan diperlakukan tidak manusiawi karena ketidakprofesionalan anggota. “Ada masyarakat yang datang mencari keadilan, tapi justru diperlakukan seolah tidak penting hanya karena tidak punya siapa-siapa. Dari pintu pertama inilah kepercayaan publik bisa runtuh,” ujarnya.

Ia menegaskan, memang tidak semua laporan bisa ditindaklanjuti penyidik. Kasus perdata, misalnya, semestinya diarahkan ke pengadilan perdata. Tetapi hal itu harus dijelaskan secara jernih, bukan membiarkan kasusnya menggantung. Yang lebih bermasalah, menurut Frederik, adalah ketidakseragaman pola layanan antar-Polda.

Frederik mempertanyakan mengapa di sebagian Polda laporan langsung dibuat LP berstatus pro justitia, sementara di tempat lain hanya dianggap pengaduan. Dalam praktik pengaduan, status hukumnya kabur, bahkan pemanggilan saksi sebatas undangan, bukan kewajiban hukum. Situasi ini membuka ruang permainan oknum penyidik yang bisa memutarbalikkan fakta.

Sebagai contoh, Frederik menilai Polda Metro Jaya sudah menjadi model yang baik. Di sana, setiap laporan digelar singkat, di ruang SPKT untuk menentukan apakah ada unsur tindak pidana, lalu langsung dibuat LP. Sedangkan apabila bukan pidana, atau unsurnya hanya perdata maka petugas SPKT menjelaskan apa langkah selanjutnya. Karena Polri tidak bisa menangani tapi tetap dijelaskan dengan baik dan santun sehingga masyarakat akan menerima dengan baik.

Sementara itu, langkah setelah dari SPKT, selanjutnya ditentukan penyidiknya dan baru dilakukan pemeriksaan pelapor dan saksi-saksi lalu diterbitkan SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan). Jadi di SPKT, seharusnya masyarakat dari awal sudah mendapatkan rasa nyaman, termasuk dengan menempatkan anggota yang profesional dan humanis serta anggota Propam dan Itwasda sebagai unsur pengawasan.

“Mengapa pola ini tidak seragam di seluruh Indonesia? Kenapa tidak semua laporan dijadikan LP saja, nanti baru dianalisa? Jangan takut banyak LP, karena LP justru bisa menjadi data obyektif untuk membaca tren kejahatan,” kritik Frederik. Menurutnya, LP adalah instrumen manajemen kepolisian. Dari data LP, Bagian Operasional bisa mengklasifikasi perkara, Sabhara diarahkan patroli ke titik rawan, Bimmas memberi penyuluhan sesuai tren kasus, sementara Propam dan Itwasum dapat mengawasi penyelesaian. “Ukuran kinerja bukan sedikitnya laporan, melainkan bagaimana kasus diselesaikan melalui crime clearance yang nyata,” tandasnya.

Propam & Itwasum: Fungsi Pengawasan yang Sering Mandek

Setelah SPKT, publik berharap ada jalur pengawasan internal. Namun, menurut Frederik, fungsi itu sering tidak berjalan sebagaimana mestinya. Propam dan Itwasum memang menjadi pilar pengawas berjenjang, mulai dari tingkat Polres, Polda, hingga Mabes, tetapi praktik di lapangan jauh masih dari harapan.

Masyarakat yang kecewa karena laporannya tidak diterima atau mandek biasanya mengadu ke Propam. Masalahnya, tidak semua kasus berada dalam ranah Propam. Banyak yang sebenarnya harus ditangani Itwasda atau Itwasum karena menyangkut profesi penyidik atau ketidakprofesionalan penanganan perkara. Sayangnya, laporan itu sering tidak diteruskan dan pelapor tidak diberi jawaban jelas.

“Fungsi pengawasan ini sudah ada dan lengkap, tapi tidak dijalankan. Publik akhirnya putus asa lalu mencari jalannya sendiri melalui media sosial. Dari sinilah muncul fenomena no viral, no justice,” tegas Frederik.

Frederik menekankan, Propam tidak boleh sekadar menolak aduan. Jika bukan kewenangannya, laporan harus diteruskan ke unit yang berwenang, dan pelapor wajib diberi pemberitahuan resmi melalui SP2HP atau mekanisme lain. Transparansi sederhana itu akan menutup ruang permainan oknum sekaligus memulihkan kepercayaan publik.

Wasidik Bareskrim: Pengawas, Bukan Pemutus Akhir

Kritik berikutnya diarahkan ke fungsi Wasidik (Pengawas Penyidik) di Bareskrim. Sesuai Perkap No. 1 Tahun 2019, Wasidik seharusnya melakukan supervisi agar penyidikan berjalan sesuai KUHAP, bukan mengambil alih kewenangan memutuskan.

Namun, banyak kasus yang sudah lama ditangani Polres bahkan sudah menetapkan tersangka, tiba-tiba dihentikan di Bareskrim setelah gelar perkara singkat dengan alasan tidak cukup bukti. Frederik menilai praktik ini merusak kepercayaan publik.

“Wasidik seharusnya tidak lagi melakukan gelar perkara di Bareskrim atas laporan dari Polda. Fungsi utamanya adalah melakukan supervisi ke Polda, menggelar perkara di tingkat Polda, serta memberikan petunjuk teknis yang diperlukan. Selama ini praktik yang terjadi adalah Wasidik mengeluarkan rekomendasi apakah kasus dilanjutkan atau dihentikan (SP3), padahal kasus tersebut sudah lama ditangani penyidik Polda. Bahkan, terkadang dilakukan voting untuk menentukan status pidananya. Hal inilah yang sering menimbulkan kekecewaan pelapor. Karena itu, mekanisme ini harus diluruskan dan dikembalikan ke Polda agar merekalah yang menentukan kekurangan dari laporan yang masuk,” ujar Frederik.

Dengan mekanisme supervisi yang benar, penyidik Polres maupun Polda tetap dipercaya, dan masyarakat tidak merasa kasusnya dihentikan sepihak oleh pusat.

Usia Pensiun: Potensi yang Disia-siakan

Selain pelayanan dan pengawasan, Frederik juga menyoroti aturan usia pensiun perwira tinggi Polri yang masih 58 tahun. Dibandingkan TNI yang sudah 60 tahun, batas usia di Polri dinilai terlalu dini.

“Banyak perwira Polri masih sangat enerjik di usia 58. Pengalaman mereka justru sangat berharga untuk kesinambungan organisasi. Wacana perpanjangan ke 60 tahun sudah pernah dibahas di DPR tahun 2024, tapi tidak ditindaklanjuti. Polri seharusnya menyesuaikan agar tidak kehilangan aset sumber daya manusia,” jelasnya.

Benang Merah: Komunikasi Transparan

Dari SPKT yang tidak seragam, jalur Propam–Itwasum yang kerap mandek, fungsi Wasidik yang melampaui kewenangan, hingga aturan usia pensiun yang tertinggal, semua bermuara pada satu kebutuhan mendasar: komunikasi yang terbuka dan berjenjang.

Frederik menekankan, komunikasi dari Polsek ke Polres, Polda, hingga Mabes harus berjalan jelas, begitu pula komunikasi dengan masyarakat melalui SP2HP atau mekanisme resmi lain. “Pelayanan publik yang adil, pengawasan yang transparan, dan komunikasi yang konsisten adalah kunci. Itu yang akan mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada Polri,” pungkasnya. (*)