PALOPO — Gelombang diskusi kembali menyeruak dari lingkaran pemerintahan Kota Palopo. Kebijakan sentralisasi proses pencairan anggaran daerah melalui disposisi langsung Wali Kota kini memasuki babak baru, setelah Wakil Ketua II DPRD Palopo, Alfri Jamil, ikut angkat bicara.
Bukan menolak, bukan pula sepenuhnya mendukung. Politisi ini memilih berdiri di tengah dengan menegaskan satu hal penting: regulasi memang memberi ruang, namun eksekusinya tidak boleh menghambat kelancaran tata kelola keuangan.
Alfri mengatakan kebijakan tersebut secara normatif memang tidak menyalahi aturan, namun pelaksanaannya perlu diperhatikan agar tidak memperlambat proses administrasi anggaran.
“Secara konsep, langkah ini sejalan dengan semangat good governance. Tapi dalam praktik, kita harus pastikan jangan sampai justru memperlambat administrasi anggaran. Potensi dampaknya, proses bisa lebih lama karena menambah satu tahapan persetujuan,” ujar Alfri dalam keterangannya, Jumat (10/10/2025).
Kritik Sentralisasi Pencairan Anggaran
Kebijakan ini tertuang dalam Surat Edaran Wali Kota Palopo Nomor 900.1.4.8/1/BPKAD tertanggal 26 September 2025. Dalam surat itu disebutkan bahwa seluruh Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D)wajib mendapat persetujuan langsung dari kepala daerah sebelum diterbitkan oleh BPKAD.
Namun, menurut Alfri, hal tersebut berpotensi menabrak regulasi yang sudah secara jelas membagi fungsi teknis dan pengawasan dalam pengelolaan keuangan daerah.
Tiga regulasi utama yang menjadi acuan adalah:
- PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,
- Permendagri No. 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah,
- Permendagri No. 15 Tahun 2024 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2025.
Dalam Pasal 149 PP No. 12 Tahun 2019, disebutkan bahwa Kuasa Bendahara Umum Daerah (Kuasa BUD) menerbitkan SP2D berdasarkan Surat Perintah Membayar (SPM) yang diterbitkan oleh PA/KPA(Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran). Proses ini bersifat teknis dan dijalankan oleh BPKAD, bukan kepala daerah.
“Ada prosedur yang sudah ditetapkan dalam regulasi. Jangan sampai regulasi ditarik jadi alat kontrol penuh oleh satu pihak. Ini bukan hanya soal legalitas, tapi soal efektivitas pemerintahan,” ujar Alfri.
Risiko Penumpukan di Meja Wali Kota
Alfri juga menyinggung Permendagri No. 15 Tahun 2024, yang menekankan pentingnya efisiensi dalam pencairan dana, khususnya untuk sisa Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik.
Dalam aturan itu disebutkan bahwa SP2D yang belum sempat diproses tetap bisa diakui jika direkam dalam sistem sebagai bagian dari penggunaan sisa DAK tahun berjalan. Proses ini harus tercatat dalam sistem OM-SPAN (Online Monitoring Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara), yang mengandalkan ketepatan waktu.
“Kalau SP2D harus antre di meja wali kota, kita bukan hanya bicara soal perlambatan internal. Ini bisa berdampak pada kepatuhan terhadap sistem nasional seperti OM-SPAN,” tegasnya.
Ingatkan Soal Fungsi Pengawasan dan Teknis
Menurut Alfri, dalam sistem pemerintahan yang sehat, fungsi pengawasan dan pelaksanaan teknis harus dijalankan secara terpisah agar tidak terjadi dominasi wewenang.
“Kalau semua ditarik ke atas, prinsip pembagian wewenang dalam good governance jadi tergerus. Ini bisa mengarah pada beban berlebih di puncak dan justru mengurangi kecepatan pelayanan publik,” lanjutnya.
Alfri, yang juga Ketua DPC PDIP Palopo, mengingatkan bahwa kepala daerah memang memiliki fungsi pengawasan, namun eksekusi teknis anggaran harus tetap dijalankan oleh SKPD yang memiliki kewenangan dan kompetensi di bidang tersebut.
“Regulasi sudah cukup jelas. Yang dibutuhkan sekarang adalah implementasi yang adil, tepat fungsi, dan efisien,” tutup Alfri.
Kebijakan ini menuai pro dan kontra. Dinilai memperkuat pengawasan, tapi dikhawatirkan memperlambat birokrasi dan melemahkan peran teknis BPKAD. Polemik pun masih terus bergulir.