MASAMBA — Suasana ruang sidang Pengadilan Negeri Masamba, Jumat (10/10/2025), tadi terasa tegang namun penuh harap. Deretan kursi pengunjung dipenuhi wajah serius, ada keluarga, kerabat, dan pemerhati hukum, yang sejak pagi mengikuti jalannya sidang praperadilan Palondongan Tandi Awo alias Palon dengan agenda mendengar kesimpulan. Di antara mereka, satu keyakinan tampak bulat, bahwa hakim akan bersikap adil dan menerima permohonan praperadilan ini.
Keyakinan itu bukan datang dari simpati, melainkan dari fakta-fakta persidangan yang perlahan membuka kejanggalan serius dalam proses hukum yang dijalankan oleh penyidik Polres Luwu Utara.
Kuasa hukum pemohon, Edyson Linnong, S.H., M.H., berdiri tegak di hadapan hakim dengan nada tenang namun menekan. Ia menjelaskan bahwa seluruh proses hukum terhadap Palondongan dan kawan-kawan dilakukan secara maraton hanya dalam satu hari, sejak dini hari hingga malam, tanpa memberi ruang pembelaan yang wajar.
“Kami tidak menolak hukum, kami hanya menuntut agar hukum dijalankan dengan cara yang benar,” ujar Edyson.
Dari berkas yang diungkap di persidangan, diketahui bahwa rangkaian proses hukum terhadap Palondongan dkk dimulai sekitar pukul 03.00 Wita pada Jumat, 15 Agustus 2025. Dalam satu hari itu pula dilakukan penerimaan laporan polisi atas nama Albert Parasiung alias Galang, interogasi, penyelidikan, gelar perkara penyelidikan, penerbitan surat perintah penyidikan, penyidikan, hingga penetapan tersangka. Semua dilaksanakan dalam waktu kurang dari 24 jam.
Tak hanya terlalu cepat, kejanggalan juga muncul pada waktu pelaksanaan BAP dan gelar perkara. Berdasarkan bukti yang diajukan di sidang, BAP terlapor tercatat dilakukan pukul 10.00 Wita, sedangkan gelar perkara justru telah digelar lebih awal pada pukul 09.30 Wita. Padahal, secara prosedur, hasil BAP-lah yang seharusnya menjadi dasar pelaksanaan gelar perkara.
Bukti Kejanggalan
Kejanggalan tersebut semakin jelas saat adik Palon yakni Crystian S. Tandi Awo alias Arya, yang juga menjadi tersangka bersama Palondongan, memberikan kesaksian langsung di ruang sidang. Ia menyatakan bahwa pada 15 Agustus 2025, sejak subuh hingga sore hari, dirinya tidak pernah diperiksa maupun di-BAP.
Crystian menuturkan, sepanjang hari ia hanya berada di ruang Resmob Polres Luwu Utara dan baru diperiksa sekitar pukul 21.00 Wita malam. Namun, dalam dokumen resmi BAP yang diajukan oleh pihak termohon, terdapat dua BAP atas nama Crystian, masing-masing tercatat pukul 07.00 dan 14.00 Wita.
Kesaksian tersebut dibenarkan oleh Rikki, saksi pelapor dalam perkara yang sama. Kombinasi perbedaan waktu dan isi dokumen ini semakin memperkuat keyakinan bahwa penyidikan dilakukan dengan rekayasa yang terencana untuk memaksa penetapan tersangka terhadap Palondongan Tandi Awo.
“Fakta-fakta ini tidak hanya menunjukkan kelalaian, tetapi pola yang disengaja. Semua diatur agar Palondongan tetap dijadikan tersangka,” ujar Edyson dengan nada tegas.
Ironisnya, fakta tersebut sangat berbanding terbalik dengan perlakuan terhadap pihak lain. Albert Parasiung alias Galang, yang justru dilaporkan oleh Rikki pada tanggal yang sama, 15 Agustus 2025, baru ditetapkan sebagai tersangka pada 29 Agustus 2025, yakni dua minggu setelah laporan dibuat.
Lebih jauh, Galang baru ditahan pada 7 September 2025, atau hampir sebulan setelah peristiwa yang sama menjerat Palondongan. Fakta ini kembali menegaskan adanya perbedaan perlakuan dalam proses penyidikan.
Dalam persidangan juga terungkap kesaksian para saksi yang menerangkan bahwa pada 9 September 2025, kakak Galang yakni Kompol Patinggian, yang diketahui menjabat di bidang SDM Polda Sulsel, mendatangi Polres Luwu Utara. Pada hari yang sama, Albert Parasiung alias Galang langsung dikeluarkan dari tahanan dan pulang ke rumahnya.
Rangkaian fakta ini menimbulkan dugaan kuat bahwa penanganan perkara di Polres Luwu Utara tidak berjalan independen dan diduga mendapatkan intervensi dari pihak tertentu. Untuk diketahui pula, pihak Polres Luwu Utara didampingi tiga pengacara lokal yang bukan dari Polda Sulsel.
Perbedaan mencolok tersebut, menurut Edyson, menjadi bukti nyata bahwa penyidik dalam hal ini Kasat Reskrim Polres Luwu Utara tidak profesional dan melakukan tindakan tebang pilih.
“Bagaimana mungkin Palondongan bisa dijadikan tersangka kurang dari 24 jam, sementara Galang yang dilaporkan pada hari yang sama justru baru ditetapkan dua minggu kemudian dan bahkan sempat bebas setelah ada kunjungan keluarganya dari Polda? Ini mencederai rasa keadilan,” tegasnya.
Hakim tampak mencatat setiap pernyataan dengan cermat. Ruangan kembali hening, hanya suara pendingin udara yang terdengar pelan. Di tengah suasana yang menegang itu, publik yang hadir seolah menyimpan satu keyakinan sederhana, bahwa keadilan masih mungkin ditegakkan, selama hakim berani berpihak pada kebenaran.
Putusan dijadwalkan dibacakan Senin, 13 Oktober 2025. Bagi banyak pihak di Luwu Utara, hari itu bukan sekadar tanggal persidangan, tetapi momentum bagi penegakan hukum yang berimbang. Apakah hukum akan kembali pada marwahnya, atau tunduk pada rekayasa kekuasaan? Jawaban itu kini berada di tangan majelis hakim.
Sekilas Kronologi
Peristiwa bermula pada 15 Agustus 2025 di wilayah Kecamatan Baebunta, Kabupaten Luwu Utara. Saat itu Albert Parasiung alias Galang dalam keadaan mabuk mengeluarkan kata-kata kasar dan juga menyerang Rikki keluarga Palondongan. Palondongan datang untuk melerai dan membela diri setelah diserang dengan menggunakan parang. Namun dalam proses itu, Rikki mengalami luka akibat sabetan benda tajam. Meski situasi tersebut diwarnai upaya pembelaan diri oleh Palondongan, Galang justru melaporkan balik Palondongan ke Polres Luwu Utara dengan tuduhan penganiayaan.
Ironisnya, hanya dalam waktu kurang dari 24 jam sejak laporan Galang diterima, Polres Luwu Utara langsung menetapkan Palondongan sebagai tersangka dan menahannya, sementara Galang, yang disebut sebagai pihak pemicu dan pelaku awal, justru tetap bebas. (*)