Logo

Saat Bencana Lumpuhkan Segalanya, Media Sosial Jadi Jantung Penyelamatan

Dr Eko Wahyuanto, Dosen Politeknik Media Jakarta & Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta

KETIKA banjir bandang datang seperti yang baru saja terjadi di Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Tanah Karo, Toba, Dairi, hingga Tanah Datar dan Agam di Sumatera Barat, semua komunikasi mainstream lumpuh total.

Listrik mati, tower BTS roboh atau kehabisan bahan bakar, jalan tertimbun longsor, jembatan putus. Dalam kegelapan itu, satu-satunya yang masih menyala adalah layar ponsel dengan sisa baterai yang ada. Dari layar itu, media sosial menjadi harapan terakhir.

Data We Are Social dan Meltwater (Februari 2025) menyebut 97,8 persen pengguna internet Indonesia aktif di media sosial. Angka itu bukan lagi statistik biasa ketika bencana banjir bandang melanda akhir 2024 hingga awal 2025. Angka itu menjadi tulang punggung penyelamat yang mampu menerobos kehancuran alam — fenomena yang kini diakui secara global.

Prof Deen Freelon dari University of North Carolina, dalam jurnalnya berjudul Social Media and Crisis Communication menyatakan, di era communication blackout akibat bencana alam, media sosial berubah dari platform hiburan menjadi infrastruktur kemanusiaan paling tangguh yang pernah ada.Menurut dia, kecepatan penyebaran informasi di media sosial 12–18 kali lebih cepat daripada saluran resmi di 30 menit pertama krisis.

Pengalaman Indonesia di awal 2025 persis mencerminkan temuan itu.

 Cara media sosial bekerja

Media sosial membentuk jaringan hidup yang cepat. Satu postingan warga mengalir ke grup desa, lalu diperkuat pemengaruh lokal, menyebar lewat tagar viral, ditata dalam dokumen kolaboratif, diambil media nasional, hingga memaksa respons pemerintah.

 

Dalam hitungan jam, suara kecil korban menjadi gelombang bantuan besar yang menyelamatkan nyawa.

Di Desa Lawe Deskin, Aceh Tenggara, seorang warga hanya mampu mengetik di grup WhatsApp desa: Air sudah masuk rumah, anak saya hanyut, tolong kirim bantuan ke koordinat ini.

Postingan itu langsung disebar ke grup kabupaten, lalu ke Facebook resmi BNPB dan relawan. Dalam 4 jam, tim SAR dari Takengon sudah bergerak meski jalan masih terputus.

Di Tanah Datar, Sumatera Barat, seorang ibu mengunggah video 18 detik di Instagram dari atap masjid. Pagi harinya, helikopter TNI AU sudah mendarat. Itu bukan keajaiban — itu hukum baru komunikasi krisis yang juga terjadi saat Topan Haiyan di Filipina (2013), Gempa Nepal (2015), dan Banjir Kerala, India (2018): ketika institusi lumpuh, warga biasa dengan ponsel menjadi first informer yang paling efektif.

 

Dr Olga Kavada, pakar komunikasi aktivisme digital dari University of Westminster menambahkan: Di negara-negara berkembang, media sosial bukan sekadar alat komunikasi — ia adalah sistem peringatan dini yang dibangun secara bottom-up oleh masyarakat sendiri. Pemerintah yang cerdas bukan menyaingi, tapi mengamplifikasi sistem itu.

Melawan hoax dengan kecepatan komunitas

Tentu ada hoaks. Tapi seperti yang ditunjukkan penelitian UNESCO-International Center for Journalists (2024) tentang Digital Resilience in Disaster Zones, komunitas online di Asia Tenggara memiliki tingkat self-correction yang jauh lebih tinggi daripada Eropa atau Amerika Utara karena ikatan sosial dan kekeluargaan yang masih kuat.

Warga saling cek-silang, admin grup memverifikasi lewat video callinfluencer lokal turun langsung. Hasilnya? Informasi valid tetap mengalir lebih cepat daripada saluran resmi.

 

Salah satu rekomendasi terkuat dari United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNDRR) dalam Global Assessment Report 2022 dan diperbarui pada 2025 adalah bahwa memutus akses internet saat bencana alam sama dengan memutus akses oksigen informasi bagi korban. Internet shutdown di saat krisis, menurut data pada 2019-2024, justru meningkatkan angka kematian hingga 23 persen.

Pengalaman di berbagai daerah di Indonesia yang pernah "mematikan sinyal demi alasan keamanan" justru menutup harapan ribuan korban. Pelajaran yang sama yang dipetik India saat banjir Assam, Pakistan saat banjir 2022, dan Turki saat gempa 2023.

 Kolaborasi media sosial

Model War Room Digital sudah terbukti di dunia. Ide War Room Digital di setiap BPBD dapat direalisasikan sebagai gagasan konstruktif bagi penanganan kebencanaan.

Filipina sudah melakukannya sejak Topan Haiyan lewat Project NOAH dan Rapid Emergency Telecommunications Team (REACT). Jepang punya Disaster Dashboard yang memantau Twitter (X) dan LINE secara real-time.

Nepal setelah gempa 2015 membentuk Digital Volunteers Network yang dikoordinasikan pemerintah dengan 15 ribu relawan digital.

Bagaimana dengan Indonesia? Saatnya Indonesia menjadikan 97,8 persen itu --pengguna internet yang aktif di media sosial-- sebagai infrastruktur kebencanaan resmi. Infrastruktur War Room Digital bisa dioperasikan dalam 24 jam di setiap BPBD provinsi/kabupaten yang rawan bencana.

Verifikasi laporan warga dalam 5 menit dapat dilakukan lewat video call. Untuk verifikasi dapat ditandai dengan badge “Terverifikasi BNPB” pada postingan valid. Ketika air bah datang, 10 menit pertama adalah penentu hidup-mati, dan di 10 menit itu, satu postingan, satu story, satu grup WhatsApp dapat dilihat jutaan orang.

Itulah yang menentukan apakah helikopter mendarat tepat waktu, apakah truk logistik sampai sebelum kelaparan, atau apakah seorang anak yang hanyut masih punya kesempatan hidup.

Media sosial bukan lagi “media baru”. Di mata pakar komunikasi media sosial telah menjelma menjadi infrastruktur kemanusiaan terbesar yang dimiliki umat manusia saat ini.