Konflik yang terjadi di kampus Universitas Islam Makassar pada Senin (25/12/2023) memiliki begitu banyak berita yang simpang siur dan saling melilit.
Artinya media-media yang mengangkat bayaknya versi kronologi dalam kejadian pecahnya arus perselisihan di dalam kampus UIM, itu kemudian menghasilkan banyak kesimpulan-kesimpulan sepihak. Kesimpulan inilah yang kemudian memperkaya kultur dalam merawat konflik yang ada dalam pelataran salah satu institusi pendidikan yang ada di kota makassar.
Letusan petasan sebagai pemicu awal dari konflik dini hari yang lalu serta mendorong Media-media memberikan kronologi dan memberitakan sepihak dari beberapa versi kronologi tersebut. Ini sudah menjadi contoh konkrit bahawa media hadir atas dasar keberpihakan tanpa ada investigasi yang jelas. Hal ini kemudian mendorong hegemoni media dalam melecuti kepala para mahasiswa baru terkait konflik internal kampus.
Atas dasar itulah kedua bela pihak dari mahasiswa saling memfitnah satu sama lain melalui instrumen media dan menanamkan serta merawat benih-benih kebencian dalam kepala masyarakat kampus serta tidak menutup kemungkinan juga menanamkan doktrin radikal terkait benih kebencikan kepada para mahasiswa baru.
Ketika ditarik dari pendekatan Konflik dalam tinjauan Marxsisme. Bahwa konflik ini adalah konflik horizontal yang mengusung terkait adanya campur tangan di luar daripada pihak A dan pihak B atau biasa disebut invisible hand.
Adam Smith mengemukakan teori bahwa mekanisme pencapaian tingkat kemakmuran dapat tercapai melalui kekuatan tangan-tangan tak terlihat (invisible hand), dalam artian yang berbeda, bahwa perpecahan mahasiswa ini terjadi karena tangan-tangan tak terlihat yang mendesain konflik tersebut. Entah oknum yang di jadikan pion ini termasuk dalam salah satu kubu A atau B, atau bahkan di luar daripada A dan B. Entah!
Pihak A dan pihak B, saling merasa bahwa pihaknyalah yang benar. Artinya, Saya mengemukakan dalam opini ini terkait pandangan sosial kultural masyarakat Indonesia yang selalu terlibat dalam konflik horizontal, bahwa kedudukan konflik horizontal yang hadir bukan karena faktor dendam turunan, akantetapi adanya pemantik dari invisible hand serta di dorong oleh dendam turunan sehingga meletusnya perselisihan dan penyerangan masing-masing kubuh.
Ketika konflik horizontal meletus sebaiknya jangan terlibat, karena ada interfensi kekuasaan di dalamnya. Dan ketika konflik itu bentuknya vertikal, maka wajib terlibat, karena melawan kekuasaan. Artinya kita memiliki musuh bersama yang harus dilawan bersama, tetapi di tengah-tengah kita sadar akan musuh bersama tersebut, mereka yang terhormat di singgasananya saling tertawa.
Penulis : Bobol Alponso BNA
Cek berita dan artikel yang lain infosulsawesi.com di Google News