Logo

Pakar Hukum Ingatkan Pentingnya Media Jaga Etika Jurnalistik

Pakar hukum Indriyanto Seno Adji

INFOSULAWESI.com, JAKARTA -- Pakar hukum Indriyanto Seno Adji, mengingatkan sebuah pemberitaan menjaga pemberitaan yang akurat dan menghindari adanya stigmatisasi mengarah pada pre-judicial.

Menurutnya, pemberitaan jangan terkesan mengarahkan pembaca pada kesalahan seseorang sebelum adanya putusan pengadilan.

Indriyanto menyatakan pandangannya, menyusul pemberitaan sebuah majalah terkenal yang mengangkat judul 'Bancakan Bansos Banteng'.

"Walaupun masih diperdebatkan, misalnya saja substansi pemberitaan 'Bancakan Bansos Banteng' di sebuah majalah terkemuka edisi minggu ini yang proses hukumnya masih berlangsung, sebaiknya tetap menjaga prinsip-prinsip hukum dan etika, khususnya dalam menilai dampak pemberitaan," ujar Indriyanto, dalam keterangannya, Senin (25/1).

Indriyanto kemudian membandingkan objek pemberitaan yang sama di sejumlah media lain dengan pemberitaan di majalah tersebut.

Menurutnya, pemberitaan di media lain terlihat lebih menjaga etika jusnalistik, akuntabel dan profesional.

"Pola pemberitaan pre-judice yang pre-judicial itu justru mengarah anggapan adanya obstruction of justice, apalagi bila kebebasan pers disalahgunakan bagi vested maupun political interest, bahkan sebagai alat penekan dari konsinyasi politik dan ekonomi," ucap Indriyanto.

Pengajar program pascasarjana Studi Ilmu Hukum Universitas Indonesia (UI) ini kemudian mengingatkan, pentingnya media sebagai kekuatan mediator sosial, berposisi adil dan berimbang dalam pemberitaan.

Karena itu, substansi pemberitaan selalu diharapkan ada cover both sides.

"Meskipun kewajiban media telah melakukan komunikasi cover both sides, tetapi jika substansi pemberitaan tetap prejudice, harus dianggap sebagai pelanggaran hukum dan etika pemberitaan, meski menjadi polemik sebagai suatu kewajaran," katanya.

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Krinadwipayana ini juga menegaskan, pemberian hak jawab di dalam media jangan diartikan bahwa tidak ada pelanggaran hukum dan etika atas substansi pemberitaan.

Demikian juga sebaiknya, pemberitaan menghindari adanya pembentukan misleading opinion kepada publik yang justru dapat merugikan perlindungan hak asasi seseorang.

"Hak tolak pers sebagai previlege rights agar tidak disalahgunakan oleh pers untuk melakukan actual malice yang meragukan motif dari orang yang menjadi korban pemberitaannya. Ini merupakan bentuk abuse secara hukum dan etika," ucap Indriyanto.

Dia mengungkapkan, media tetap terikat untuk tidak melanggar right to distort (mengacaukan) pemberitaan yang substansinya membentuk misleading opinion bahwa seolah seseorang bertanggung jawab secara hukum.

"Pengabaian right of distort adalah bentuk pelanggaran etik dan hukum. Kebebasan tidak bisa dan tidak akan pernah dimaknai secara absolut tanpa batas, dan kebebasan absolut tanpa batas inilah bentuk dari pelanggaran etika dan hukum," pungkas Indriyanto. (jpnn)