Logo

Pengabdian Guru TPA di Seko, Menembus Batas Geografis Berbuah Apresiasi dan Penghargaan Nasional

Luwu Utara --- Pengabdian seorang guru layak mendapatkan apresiasi, terlebih ketika mengabdi di wilayah yang masuk kategori terpencil dan terisolir. Tak sedikit guru dari berbagai background pendidikan, termasuk guru Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA) alias guru mengaji yang telah lama mendedikasikan separuh hidupnya di wilayah tersebut untuk mencerdaskan anak bangsa.

Pengabdian para guru di wilayah terpencil bukan sekadar untuk mengajar dan mendidik, tetapi juga untuk membawa perubahan positif yang signifikan terhadap anak-anak di wilayah terpencil guna mendapatkan hak pendidikan yang merata dan setara dengan menembus batas geografis dan infrastruktur. Dan salah satu guru yang merasakan tantangan itu ialah Irna Kamayanti.

Guru mengaji, sekaligus sebagai Pembina TPA di Kecamatan Seko, Kabupaten Luwu Utara, ini telah mengabdi selama kurang lebih 18 tahun di wilayah pegunungan nan terpencil tersebut. Rentetan panjang perjalanannya mengubah kehidupan religiusitas anak-anak di Seko yang sebagian besar adalah para muallaf itu akhirnya mendapatkan apresiasi nasional dari Kementerian Agama.

Pada momentum puncak Hari Guru Nasional (HGN) beberapa waktu lalu, Irna menerima apresiasi dan penghargaan dari Kementerian Agama (Kemenag) yang diserahkan langsung Menteri Agama, Prof Nasaruddin Umar, di Jakarta. Penghargaan tersebut diberikan atas dedikasinya sebagai salah seorang guru yang berjuang di jalur lintas agama, yang tak semua guru bisa melakukannya.

Irna Kamayanti adalah seorang ibu rumah tangga yang menetap di Desa Padang Balua, Seko. Irna yang lahir di Palopo, 16 Desember 1987, ini mulai menjalani kehidupannya sebagai guru mengaji di Seko sejak menikah dengan Nahar pada 5 Desember 2007. Ia hidup sederhana di Seko bersama suami dan empat anaknya. Sambil mengajar mengaji, ia tak lupa membantu suami bertani.

Gambar_WhatsApp_2025-12-08_pukul_16.10.39_788548a1

Di tengah keterbatasan geografis dengan mayoritas masyarakatnya adalah muallaf, Irna dengan penuh keikhlasan mengabdikan diri sebagai guru mengaji, sekaligus sebagai pembina TPA, majelis taklim, serta membina grup qasidah rebana. Tak mudah melakukan semua tugas tersebut tanpa rasa tulus dan iklas untuk membantu masyarakat mendapatkan ilmu agama yang bermanfaat.

Seluruh pengabdian tersebut ia niatkan sebagai proses untuk membentuk karakter guru yang kuat di tengah keterbatasan, sekaligus sebagai amal jariyah untuk kedua orang tuanya. Menariknya, ia mengajar tanpa pamrih, tidak pernah mengharapkan imbalan apa pun, selain ridha Allah SWT. Itulah kemudian Kemenag memberikan penghargaan yang sebelumnya tak pernah ia pikirkan.

Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Luwu Utara, Rusydi Hasyim, menyebutkan bahwa Irna telah mampu mengubah kehidupan religi anak-anak di Kecamatan Seko. “Ketulusan, keikhlasan, dan istiqamahnya, menjadikan beliau sebagai pilar pembinaan keagamaan serta teladan pengabdian di lingkungan masyarakat di Kecamatan Seko,” ucap Rusydi, Ahad (7/12/2025), di Masamba.

Menurutnya, Irna tidak hanya kaya ilmu agama, tetapi juga kaya hati. Mengapa demikian? Rusydi mengungkapkan bahwa Irna dalam mengemban misi mulianya harus menempuh perjalanan satu jam dari Desa Eno untuk mengajar mengaji anak-anak muslim muallaf di Seko. “Ibu Irna ini harus menempuh perjalanan 1 jam untuk mengajar anak-anak muslim mualaf di Seko,” ungkapnya.

Terpisah, Irna Kamayanti mengungkapkan bahwa cita-cita tertingginya dengan mengajar anak-anak mengaji adalah mendoakan orangtuanya agar mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT. “Cita-cita saya tertinggi adalah Allah mengampuni dosa kedua orangtua saya, serta seluruh pahala mengajar yang saya lakukan ini menjadi amal jariyah untuk kedua orangtua saya,” jelasnya.


Diketahui, Irna merupakan satu-satunya guru mengaji di Seko, sebuah wilayah terpencil di daerah Kabupaten Luwu Utara, yang dihuni sebagian muslim muallaf. Satu-satunya aktivitas mengaji yang ia lakukan hanya di sebuah masjid yang sudah lapuk, keropos, dengan plafon dan dinding yang jauh dari kata nyaman. Plafon terbuat dari terpal plastik, serta dinding yang mudah lapuk.

Dengan kondisi masjid tersebut, tentunya ia mengharapkan ada upaya perbaikan dari pemerintah sehingga masjid satu-satunya yang ia jadikan sebagai wahanah ibadah, baik salat dan pengajian, agar lebih nyaman, kondusif, serta representatif untuk dijadikan sebagai rumah pengabdian untuk mencerdaskan para anak bangsa dari sisi pemahaman keagamaan, khususnya Islam. (LHr)